Sebuah perenungan panjang

Selasa, 02 Juni 2015 0 komentar
Alasan Berubah
Oh ya...
aku hanya ingin berbagi cerita, ini pasal alasan berubah yang tak terbilang lagi pertanyaan dari teman-temanku itu menggerutu ingin segera di jawab.

Sebenarnya cukup absurd juga akan memulainya dari mana, biar kumulai saja dengan bismillah...
"bagaimana kamu bisa berubah?"
"A... aku... hanya mengikuti kata hati saja."
"Ah, jika semua kata hati berkata demikian, kapan kata hati ku akan mengatakan hal serupa? katakanlah, kamu berubah karena apa?"
Betapa sangat ingin kau ku beritahu, kawan. Tapi aku bukan pembicara yang baik, sungguh, aku hanya berniat jadi penulis. Jadi, izinkan aku merangkaikan kata yang cukup sederhana untuk kalian tahu.

Bermula dari ketertarikan. Yah, sebenarnya ini sudah kuniatkan dari awal, jauh hari sebelum aku rutin bertarbiyah. Tapi dasar mahasiswa, ia adalah pengulur waktu yang paling handal. Lantas saja, hingga beberapa tahun semua hanya tergenapkan lewat hati dan bibir. Tak berhenti dari sana, bahwa aku adalah orang yang percaya sebuah ungkapan "kamu adalah apa yang kamu fikirkan" dan "ucapan adalah sebuah doa". Aku hanya bermodal yakin itu akan terjadi, entah lewat jalan apa atau lewat pintu mana hidayah itu akan di beriNya.

Nekat!

Itulah yang terfikirkan, saat aku mulai berfikir nakal, bahwa kerasnya hidup bisa sedikit terobati dengan berpenampilan layaknya pria. Yah, rambut yang terpotong pendek, serta menggemari pakaian lelaki itu menjadi sebuah tabiat hingga beberapa bulan lamanya. Dengan bangganya ku pamerkan, dan dengan usilnya temanku mengunggah di sosial media. Jadilah aku yang terkenal tomboi, meski sifat dasar yang lemah itu hanya mampu terkuat-kuatkan beberapa persen saja. *kikikik

Itu terjadi... aku berani melawan kodrat perempuan

Sebelum aku mengenal seseorang, meski lewat dunia maya, tapi aku yakin, ia lebih tahu dari pada aku. meh. Sekejap takjub lagi-lagi menghampiri, bahwa ilmu agama yang dimilikinya itu membuatku yang kecil jadi merasa kerdil,. Hey! sudah sebesar apa aku ini? Batinku
Aku tak perduli, aku masih seperti itu, meski saat itu aku telah menjalani tarbiyah. dan di sisi lain seorang kakakku memutuskan berjilbab syar'i.
Seolah tak punya reaksi apa-apa, tapi nyatanya aku menyadari pola fikirku sedikit berubah. sedikit. hihih

Konyolnya, aku menyadari bahwa semakin lama aku berteman dengan dia, semakin ketakutan memaksa merasuki batinku. Ia yang pernah bilang "sehelai rambut adalah siksaan untuk ayah." dan diam-diam aku merekam ini jelas-jelas. Aku membaca dari google, dia benar...

Sehelai rambut wanita yang di lihat oleh lelaki bukan mahram dengan sengaja = balasannya 70,000 tahun dalam neraka,1 hari akhirat = 1000 tahun di dunia. Seorang wanita yang masuk neraka akan menarik 2 orang lelaki, termasuk ayah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Beberapa hari setelahnya aku menelfon ayah yang kupanggil bapak, ia menyuruhku bercerita panjang lebar,  tentang keadaanku, makananku, uang jajanku, dan segala kuliahku. Ia begitu menghawatirkanku. Tapi aku lebih, Suaranya sudah mulai menua.  Sesekali telfon itu diambil kakakku karena ia tak bisa menahan batuk, sudah bertahun-tahun asma mengerogoti nafasnya.
aku jadi takut kehilangan dia.
Aku menyadari, bahwa kita tak akan pernah menghindari sebuah siksaan. dan gilanya prinsipku adalah sekali di siksa, ya sudah, terlanjur disiksa, seperti sekali basah, yah terlanjur basah. Tapi, bapak... Bagaimana bisa aku menambah siksaannya? hanya karena aku? ulahku? dan aku adalah si kecil yang terlahir tanpa apa-apa, apakah akan mati tanpa apa-apa pula?
Bagiku, bapak adalah ayah yang hebat. Bapak adalah pahlawan yang karenanya aku berjuang melawan mimpi. Bapak adalah yang terkuat, yang meski keringatnya terperas, ia tak pernah minta apa-apa.

Dari situ, aku mulai belajar menutup aurat, mengubah pandangan, belajar melengkapkan sholat. Aku belajar. Dan menjadi serius dalam beragama. Dan semakin jauh, aku belajar mengenal Tuhan. Menjadikannya lebih dekat. Semakin jauh, semakin terasa lega. Ia adalah tempatku membongkar perasaan, mengembalikan jenuh, ataukah menguatkan hati yang hampir kalah.
Aku tidak menyangka, bahwa perubahan ini malah membuatku lebih nyaman, meski cukup rempong juga bersembunyi kali ada teman lelaki yang ingin belajar di rumah. ahhaha tapi tak apa, malah terasa risih jika tak begitu.
Pola fikirku mulai terarah, aku mulai paham bahwa perubahan ini bukan hanya karena sosok ayah, tapi mengenal Tuhan adalah kebutuhan dan menjalankan perintahNya adalah kewajiban.

Latar belakang perubahanku terlalu miris, kawan. meski kemudian dengan itulah aku mengenal namanya aurat yang sejatinya di tutup rapat-rapat... heheh Kawan, hidayah tidak untuk ditunggui, jemputlah cepat-cepat! Merugilah jika membiarkannya berlalu sebab kita tak pernah tahu kapan ajal mau menjemput. Andai saja semua menyadari, mengapa ketika ada masalah mereka kembali mengingat Tuhan, karena dekat denganNya membuat kita lebih nyaman. Ia tidak seperti makhluk-makhlukNya di dunia, ia tak menuntut apa-apa.
Tapi apalah guna hidup yang di beri, nafas yang tak di beli, langit yang rela memayungi, jika kita tak benar-benar sujud padaNya sebagai tanda syukur, Ia bukan teman yang bisa kita kibuli. Ia sang Maha Melihat, Maha Tahu.
Apa yang sudah kita lakukan dengan status islam, itu bukan hanya nama di KTP, bukan?

Apkah perlu, kita disadarkan dengan sebuah masalah,
atau mensyukuri
indahnya ciptaan Tuhan setelah Ia menggelapkan pandangan?
berartinya kaki setelah berjalanpun kita tak lagi bisa?
nikmatnya bernafas setelah tak bisa lagi menghembuskan nafas?
jangan...
Yakinkan Tuhan, kita bisa berubah tanpa harus ia menegur.

Aku masih ingin berubah, menjadi yang lebih baik di mata Tuhan. Kalian? berniatlah, karena semua berawal dari niat. Awalnya memang sulit tapi

Tidak ada hal yang sulit jika di jadikan kebiasaan.
Bahwa berfikir akan hidup seribu tahun lagi hanyalah bualan.
Waktu tak pernah memberikan sertifikasi yang sah,
Ia bukan apa dan siapa yang bisa digadaikan
atau ditabung untuk masa depan,
bukan...
Kita hanya di titipkan waktu,
lalu sang pemilik waktu akan menagihnya kapanpun Ia mau.
dan waktu bukan seorang pengacara,
ia tak akan  membela apa-apa atau sesiapa
bahwa kita pernah menjadikannya alasan untuk menunda perubahan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB