Dia Maya, perempuan yang sudah
hampir termakan usia. Cukup menarik, tapi tak cukup baik untuk menjadi
pendamping papa. Aku mengenalnya di ruang tamu tempat kami sengaja dipertemukan
papa. Baru hari ini, aku rela melihat tampangnya bersanding dengan papa, itupun
jika bukan karena papa.
Gaby memberenggut, tatapannya
tajam, “Aku bahkan ingin sekali punya ibu, An…”
***
Gaby, dia sahabatku. Seumuran denganku,
14 tahun. Waktu kecil, ia di asuh di
panti asuhan.Tak tahu siapa ibunya, ayahnya, pamannya, bibinya atau dari mana orang-orang
di panti itu mendapatkannya, ia tak tahu. Begitu yang pernah diceritrakan
kepadaku. Kebetulan, aku satu sekolah dengannya di SMPN 1 Belopa, sejak itulah
kami bersahabat. Sejak dua tahun lalu.
Dia suka sekali dengan ibuku.
Yah, mungkin karena ia tak pernah merasa punya sosok ibu. Katanya, ibuku
penyayang sekali, bahkan ibulah yang mengajaknya tinggal sama-sama kami di
rumah.
Ibuku cantik sekali, anggun, dan
juga sederhana. Pakaiannya tak pernah di heboh-hebohkan, make upnya juga, tapi
dari situlah ia selalu terlihat muda.
Aku masih ingat, ibu sering
sekali mengusap rambutku ketika aku ingin dibangunkannya. Manis sekali, bukan?
Yah, Gaby juga menikmati belaian ibu, maklumlah, ibu mana ada pernah
pilah-pilih kasih. Meskipun jelas sekali, hanya aku anak kandungnya seorang. Kadang
juga, ibu membacakan puisi-puisi buatannya untuk papa, dan aku selalu menjadi
yang pertama meminta ibu mendeklamasikan ulang puisi-puisi itu di acara sekolah.
Siapa yang menyaingi ibu, Khairil anwar? Ah, lewat. Bagiku, ibu adalah jagoan
dan pahlawan. Bahkan ketika dulu papa sakit, ia rela jadi buruh cuci untuk
menghidupi kami. Kurang apa lagi dia?
Tapi kemarin, aku sempat marah
pada ibu. Tepatnya di tahun kemarin, ketika ibu membiarkan aku, papa, dan Gaby
hidup tanpa dia di dunia ini. Aku kehilangan ibu. Pedih sekali, pedihnya lagi
ketika aku yang menemukan dia jatuh dan tak sadarkan diri. Buru-buru, aku menelepon
papa yang tengah meetingdi kantornya,
juga Gaby yang tengah mengikuti les di sekolah. Telepon mereka tak di gubris,
mereka sibuk, tega sekali. Mataku sampai bengkak karena menangis membangunkan
ibu yang tergeletak dan tak bangun-bangun juga. Untunglah, tetangga samping rumah
punya sebuah mobil, ibu diantar oleh mereka ke rumah sakit. Dokter bilang, ia
menderita kanker payudara, sudah cukup parah katanya, dan terlalu rapat ia
sembunyikan hingga berakhir dengan 5 tarikan nafas lagi, kami baru tahu sebab
kematiannya.
Aku, papa, dan Gaby… tenggelam
dalam kesedihan yang rasanya tak berkesudahan. Aku dan Gaby, masih bisa saling
menyemangati ketika sedih, tapi papa? Ia larut dalam kesendiriannya juga rasa
bersalahnya. Yah, kami semua merasa bersalah, tak pernah memerhatikan kondisi
ibu.
Sejak itu, papa tak punya nafsu
untuk melakukan apa-apa, terpukul sekali, ini lebih dari sekedar rasa pedih seorang
pekerja ketika ia di PHK. Jika tak sebab aku yang butuh uang sekolah, mungkin
sudah sangat ingin ia putus kerja.
Papa memelihara sedihnya
berbulan-bulan, bahkan aku tak pernah melihat senyum mengulas di wajahnya yang
masih cukup muda.
“Hanya satu cara An, papa butuh move on, begitu kata mario teguh,” ucap Gaby
begitu meyakinkan. Ia semangat sekali dengan rencananya itu. Aku tahu, itu
baik, tapi kata move onitu pasti
memicu pada istri baru. Berarti… ada perempuan baru, ibu baru buatku?
“Tak ada cara lain Gab?” Keningku
mengerut.
Gaby tak menjawab, hanya
menggeleng beberapa kali. Aku menunduk, mencoba mengalihkan pandangan dari
Gaby, sekalian mencoba mengalihkan arah pembicaraannya.
“By, tugas dari bu Imah udah kamu
kerjain belum?”
“Udah,” jawabnya singkat. “Jangan
egois An,” ia melangkah pergi. Aku di tinggal bersama setengah gelas minuman
bersoda yang sedari tadi berusaha kami habiskan berdua di kantin sekolah. Bel
tanda masuk memang sudah berbunyi, tapi melangkahkan kaki ke kelas rasanya
sulit sekali. Aku tetap di kantin, menikmati kesepian dan indahnya memoar
bersama ibu yang coba ku ingat-ingat. Jika bukan karena Gaby yang selalu
membangunkanku ke sekolah, aku pun bahkan susah beranjak dari tempat tidur. Aku
rindu ibu.
Tak ada yang bisa menyamainya,
apalagi menggantikan posisinya. Bagaimana bisa Gaby bilang aku egois? Apakah
tidak egois, ketika memilihkan istri buat papa, berarti ibu tiri buat kita. Bukankah
ibu tiri selalu bermuka dua? Mungkin nanti, di depan papa wajah manisnya selalu
ditampakkan. Tapi di depan aku dan Gaby, wajah garangnya bisa saja melebihi
garangnya seorang rentenir. Bukankah itu egois? Sisa sodanya ku teguk habis.
***
Perempuan renta itu duduk manis
di sofa ruang tamu. Rambutnya di gerai, seperti artis yang mau manggung.
Dandanannya menor, bajunya ketat, lipsticknya merah sekali. Segala dalam
dirinya tampak buruk di mataku. Ia lajang, mungkin sebab tak ada lelaki yang
mau dengannya. Aku tak habis fikir, keputusan papa begini. Apa yang baik
darinya?
“Aku Maya,” ia mengulurkan
tangannya tapi tak ku gubris, wajahku kupalingkan darinya. “Oh ya, soal papamu,
aku mengenalnya baru-baru ini, dan baru kemarin juga dia melamarku…”
“Apa?” Potong ku. Kata-katanya
barusan itu membuatku tersentak, kepalaku serasa mendidih, mukaku merah.
Bagaimana mungkin papa memilih seorang pengganti mama yang dikenalnya baru
beberapa hari? Astaga, papa… gegabah sekali ia. Aku pergi dan meninggalkan
perempuan itu di ruang tamu. Pergi, dan kabur dari rumah.
Aku menginap di panti tempat Gaby
dulu dibesarkan. Tak ada yang tahu, bahkan Gaby sekalipun. Aku tak masuk
sekolah, sudah lima hari absen tanpa keterangan. Handphoneku, sengaja ku nonaktifkan. Di panti, aku suka sekali
memandang langit di kebun belakang. Rasanya seperti memandang ibu di kejauhan,
hingga larut malam bahkan.
Ibu… seorang perempuan aneh ingin
memasuki keluarga kita, aku tak rela bu. Tak rela ada yang menggantikan
posisimu di hati papa. Bu, sampai kapanpun, aku tak akan mengakuinya sebagai
ibu. Aku tak pernah ingin punya ibu tiri. Bu… kau dengar, kan?
“Nak, pulanglah. Ibu dapat kabar
baru saja dari Gaby, papamu sakit,” Bu Suci menghampiri, aku masih termenung,
tatapanku kosong. Ibu Suci, pengasuh di panti itu melanjutkan, “Katanya, sejak
dua hari yang lalu, dia tak mau makan, selalu mengigau namamu. Gaby juga, tak
tahu lagi mencarimu kemana. Kasihan keluargamu nak, apa kamu ingin kehilangan
mereka?”
Air mataku berderai, aku menangis
tanpa suara. Rasanya ada yang menghantam dadaku tiba-tiba, aku menghambur di
pelukan bu Suci. Memeluknya erat, erat sekali. Aku kangen ibu, ayah juga.
“Pulanglah nak,” bisik bu Suci tepat
di telingaku. Ia mengelus rambutku pelan, aku teringat ibu.
Aku pulang. Aku pulang sekaligus
menyaksikan pernikahan papa dilangsungkan beberapa minggu setelahnya.
“Yang jelas, aku hanya kasihan
sama papaku. Itu saja!” Tegasku.
Gaby memberenggut, tatapannya
tajam, “Aku bahkan ingin sekali punya ibu, An…”
“Semua orang bisa jadi ibu Gab, yang
pelacur sekalipun bisa.”
Aku berlari pulang, meninggalkan
Gaby yang bersamaku sepulang sekolah di tepi jalan. Tak perduli dengan supir
papa yang sudah datang menjemput, aku berlari kencang, membiarkan angin
mengeringkan air yang meleleh di pipiku.
“Ana awaaas!!!” Plak. Kurasakan
ada yang baru saja menyentuh tubuhku keras. Gaby terlihat samar, ada banyak
orang juga yang tak kukenal, lalu dunia menjadi gelap.
***
“Kapan perbannya di buka, Pa?”
“Sabar sayang…,” papa
menenangkan, suaranya parau. Menangis kah papa?
“Sayang, cepat sembuh ya…,” suara
perempuan itu terasa sekali di telingaku, ia membelai rambutku.
Segera ku hardik tangannya,
“Jangan sentuh!” Gertakku.
“An, besok kita liburan bareng
kata papa, sekeluarga An.”
“Aku gak mau Gab, kamu saja. Bagiku,
semuanya sudah gelap. Dimanapun, sama saja.”
“An…” Gaby memelukku, ia menangis
tersedu. “Maafkan aku An, gara-gara aku…”
“Sudah takdir Tuhan Gab,”
potongku.
“Jangan sedih, sayang. Yang kuat
yah. Mama yakin, mata hatimu lebih tajam dari mata-mata kami,” sahut Maya, mama
baruku itu. Aku hanya diam, tak menggubris perkataannya.
“An, jangan kayak gitu sama mama,
dia sudah jadi mama buat kita, dia baik kok,” terang Gaby, mungkin perempuan
itu sudah pergi.
“Susah Gab, dia gak akan pernah
baik di mata ku.”
“An… Husss”
“Gab, kamu gak tahu rasanya jadi
aku. Gampang aja kamu bilang kayak gitu, ibu kan bukan ibu kandung kamu. Rasa
kehilangannya beda Gab. Terima dia, kamu fikir mudah? Aku gak mungkin bisa
terima orang yang gak baik kayak dia,” mataku berkaca, perbannya sudah dibuka.
Lama terhenyak…
“An, mama nangis denger kamu
bilang kayak gitu tadi, baru aja dia pergi. Dari tadi dia di sini, di samping
kamu.”
“Biar aja!”
***
“Nak, dokter baru saja nelfon
papa, katanya sudah ada donor buat kamu. Kamu akan segera melihat, sayang.”
“Yang bener pa… Asiiik,” kataku
kegirangan. Aku gak bisa tidur sepanjang malam, memikirkan bagaimana dunia akan
menyambutku hangat dan gelap yang akan meninggalkan duniaku dengan relanya. Aku
merasakan pelukan Gaby dan papa yang hangat. Dimana perempuan itu, mama tiriku,
tak senangkah dia?
***
Hari ini, setelah beberapa hari
kemarin habis operasi, dokter membuka perban di mataku pelan sekali, padahal
aku sudah sangat ingin melihat dunia, juga wajah papa dan Gaby. Lima bulan
sudah, aku bertahan dalam keremangan dunia yang penuh kegelapan, ternyata gak
enak, yah. Serasa dunia tak punya matahari dan bumi sedang padam listriknya.
Gak enak, gak ada keindahan apa-apa di sana.
“Papa…,” wajahnya kuraba-raba,
“Gaby…” Ah, tampang mereka masih sama saja. Tak ada yang benar-benar berubah.
Aku celingukan, melihat kesekeliling.
“Perempuan itu mana Pa?”
“Mama kamu?”
Aku mengangguk.
“Dia… sudah pergi dari rumah,
nak.”
“Oh ya?” Aku tertegun, ada rasa
bersalah yang tiba-tiba menghardikku, apa iyya dia pergi karena aku?
Aku kembali ke rumah, suasananya
sedikit berbeda. Gordennya putih, catnya putih, kebanyakan barang jadi warna
putih. Putih adalah warna kesukaanku, lebih bersih dari warna-warna yang lain.
Ah, penyambutan papa berlebihan sekali.
“Suka dengan dekorasi rumahnya,
nak?”
“Suka banget pa… kalau begini
caranya, bisa betah aku tinggal di rumah seharian,” kataku cengengesan.
“Mama kamu. Gak sia-sia.”
“Mama?” Aku terhenyak. Semuanya
jadi hitam kembali di mataku.
“Gak jadi, aku gak suka. Papa
ubah lagi yah, ke mode yang dulu, biar suasana ketika ibu ada jadi gak kelupa.”
“Mana mungkin papa melupakan
ibumu?”
“Lalu, kenapa papa memilih wanita
itu, kenapa papa membiarkan dia mengubah suasana rumah kita. Benar dugaanku,
dia itu perusak keluarga kita.”
Plaaak!!! Tangan papa tepat di
wajahku. Baru kali ini, papa menamparku. Rasanya perih, hatiku.
“Dia itu mama kamu. Amanah ibu
kamu. Bahkan jika kamu bertanya pada papa kenapa ibu kamu memilih dia jadi
penggantinya, papa gak tahu sayang,” papa mendekapku dalam pelukannya. Ia
mendekapku erat, dadanya bergemuruh, aku harus tahu alasannya.
***
Aku mengunjungi rumah sakit hari
ini, kata dokter penglihatanku harus tetap di kontrol seminggu sekali. Paling
tidak, aku diberinya salep untuk merelaksasi kembali otot-otot mataku yang
sempat kaku.
“Makasih dok,” begitu, ketika aku
pamit dari ruangan dokter.
Ketika itu, aku tak sengaja
menoleh ke kanan. Berkali-kali mataku ku kucek, perempuan yang duduk di bangku
paling ujung dari antrian itu, mirip sekali istri papa, atau…
“Hey!” Aku menyapanya. Ia menatap
lurus ke depan. “Hellooo…,” sapaku sedikit keras. Ia meraba kedepan. Namun
wajahku masih jauh dari jangkauannya. Aku menerawang matanya baik-baik, ia tak
berkedip meski telah ku lambai-lambaikan tanganku di depannya. Ia tak melihat.
Ia tak melihat, ia tak melihatku. Ia buta?
“Mama…,” sapaku pelan. Ujung
matanya berair, air matanya jatuh, tatapannya tetap kosong. Sebuah tongkat
separuh badan di pegangnya sedari tadi.
“An?”
“Ma… jangan bilang mataku ini
adalah mata mu,” dia diam. “Mama jawab aku ma…,” aku memeluknya, tubuhnya
kurus, mataku tak henti berair.
“Ana?”
Aku mendongak, seorang pria
bertubuh jakung menyebut namaku. Ia tersenyum, “Saya Danu, ponakannya kak
Maya,” aku mengelap air mataku dan menahan sesenggukan. Kami berjabat tangan.
“Maaf An, aku harus bawa kak Maya
ke ruangannya.”
“Ruangan, mau apa?” tanyaku penuh
heran.
“Periksa mata,” jawabnya singkat.
Mama dituntunnya pergi.
“Tunggu!” Dia menghentikan
langkahnya, “Ma… tolong jelasin semuanya.”
“Maaf nak, harusnya aku menjaga
amanah ibu mu. Begitu kata papamu. Bahkan ketika itu mama akan di lamar oleh
kekasih mama. Mama tahu, tak akan pernah bisa menggantikan posisi ibu kamu.
Tapi sudahlah, amanah ibumu sudah ku sentuh meski sedikit, mama ini sahabatnya,”
ia memelukku erat. “Tetaplah melihat dunia, nak.”
Bodohnya aku.
“Ma… ma… Aku minta maaf.
Pulanglah ma, bangun lagi keluarga kita, ambil lagi mata ini. Mana mungkin aku
melihat apa yang harusnya mama lihat?”
Aku menahan isak, menahan tangis.
Tak ingin membuat mata mama berair.
THANK’S
The End
0 komentar:
Posting Komentar