MATA HATI MAMA

Minggu, 19 Juli 2015 0 komentar

Dia Maya, perempuan yang sudah hampir termakan usia. Cukup menarik, tapi tak cukup baik untuk menjadi pendamping papa. Aku mengenalnya di ruang tamu tempat kami sengaja dipertemukan papa. Baru hari ini, aku rela melihat tampangnya bersanding dengan papa, itupun jika bukan karena papa.
Gaby memberenggut, tatapannya tajam, “Aku bahkan ingin sekali punya ibu, An…”
***
Gaby, dia sahabatku. Seumuran denganku, 14 tahun.  Waktu kecil, ia di asuh di panti asuhan.Tak tahu siapa ibunya, ayahnya, pamannya, bibinya atau dari mana orang-orang di panti itu mendapatkannya, ia tak tahu. Begitu yang pernah diceritrakan kepadaku. Kebetulan, aku satu sekolah dengannya di SMPN 1 Belopa, sejak itulah kami bersahabat. Sejak dua tahun lalu.
Dia suka sekali dengan ibuku. Yah, mungkin karena ia tak pernah merasa punya sosok ibu. Katanya, ibuku penyayang sekali, bahkan ibulah yang mengajaknya tinggal sama-sama kami di rumah.
Ibuku cantik sekali, anggun, dan juga sederhana. Pakaiannya tak pernah di heboh-hebohkan, make upnya juga, tapi dari situlah ia selalu terlihat muda.
Aku masih ingat, ibu sering sekali mengusap rambutku ketika aku ingin dibangunkannya. Manis sekali, bukan? Yah, Gaby juga menikmati belaian ibu, maklumlah, ibu mana ada pernah pilah-pilih kasih. Meskipun jelas sekali, hanya aku anak kandungnya seorang. Kadang juga, ibu membacakan puisi-puisi buatannya untuk papa, dan aku selalu menjadi yang pertama meminta ibu mendeklamasikan ulang puisi-puisi itu di acara sekolah. Siapa yang menyaingi ibu, Khairil anwar? Ah, lewat. Bagiku, ibu adalah jagoan dan pahlawan. Bahkan ketika dulu papa sakit, ia rela jadi buruh cuci untuk menghidupi kami. Kurang apa lagi dia?
Tapi kemarin, aku sempat marah pada ibu. Tepatnya di tahun kemarin, ketika ibu membiarkan aku, papa, dan Gaby hidup tanpa dia di dunia ini. Aku kehilangan ibu. Pedih sekali, pedihnya lagi ketika aku yang menemukan dia jatuh dan tak sadarkan diri. Buru-buru, aku menelepon papa yang tengah meetingdi kantornya, juga Gaby yang tengah mengikuti les di sekolah. Telepon mereka tak di gubris, mereka sibuk, tega sekali. Mataku sampai bengkak karena menangis membangunkan ibu yang tergeletak dan tak bangun-bangun juga. Untunglah, tetangga samping rumah punya sebuah mobil, ibu diantar oleh mereka ke rumah sakit. Dokter bilang, ia menderita kanker payudara, sudah cukup parah katanya, dan terlalu rapat ia sembunyikan hingga berakhir dengan 5 tarikan nafas lagi, kami baru tahu sebab kematiannya.
Aku, papa, dan Gaby… tenggelam dalam kesedihan yang rasanya tak berkesudahan. Aku dan Gaby, masih bisa saling menyemangati ketika sedih, tapi papa? Ia larut dalam kesendiriannya juga rasa bersalahnya. Yah, kami semua merasa bersalah, tak pernah memerhatikan kondisi ibu.
Sejak itu, papa tak punya nafsu untuk melakukan apa-apa, terpukul sekali, ini lebih dari sekedar rasa pedih seorang pekerja ketika ia di PHK. Jika tak sebab aku yang butuh uang sekolah, mungkin sudah sangat ingin ia putus kerja.
Papa memelihara sedihnya berbulan-bulan, bahkan aku tak pernah melihat senyum mengulas di wajahnya yang masih cukup muda.
“Hanya satu cara An, papa butuh move on, begitu kata mario teguh,” ucap Gaby begitu meyakinkan. Ia semangat sekali dengan rencananya itu. Aku tahu, itu baik, tapi kata move onitu pasti memicu pada istri baru. Berarti… ada perempuan baru, ibu baru buatku?
“Tak ada cara lain Gab?” Keningku mengerut.
Gaby tak menjawab, hanya menggeleng beberapa kali. Aku menunduk, mencoba mengalihkan pandangan dari Gaby, sekalian mencoba mengalihkan arah pembicaraannya.
“By, tugas dari bu Imah udah kamu kerjain belum?”
“Udah,” jawabnya singkat. “Jangan egois An,” ia melangkah pergi. Aku di tinggal bersama setengah gelas minuman bersoda yang sedari tadi berusaha kami habiskan berdua di kantin sekolah. Bel tanda masuk memang sudah berbunyi, tapi melangkahkan kaki ke kelas rasanya sulit sekali. Aku tetap di kantin, menikmati kesepian dan indahnya memoar bersama ibu yang coba ku ingat-ingat. Jika bukan karena Gaby yang selalu membangunkanku ke sekolah, aku pun bahkan susah beranjak dari tempat tidur. Aku rindu ibu.
Tak ada yang bisa menyamainya, apalagi menggantikan posisinya. Bagaimana bisa Gaby bilang aku egois? Apakah tidak egois, ketika memilihkan istri buat papa, berarti ibu tiri buat kita. Bukankah ibu tiri selalu bermuka dua? Mungkin nanti, di depan papa wajah manisnya selalu ditampakkan. Tapi di depan aku dan Gaby, wajah garangnya bisa saja melebihi garangnya seorang rentenir. Bukankah itu egois? Sisa sodanya ku teguk habis.
***
Perempuan renta itu duduk manis di sofa ruang tamu. Rambutnya di gerai, seperti artis yang mau manggung. Dandanannya menor, bajunya ketat, lipsticknya merah sekali. Segala dalam dirinya tampak buruk di mataku. Ia lajang, mungkin sebab tak ada lelaki yang mau dengannya. Aku tak habis fikir, keputusan papa begini. Apa yang baik darinya?
“Aku Maya,” ia mengulurkan tangannya tapi tak ku gubris, wajahku kupalingkan darinya. “Oh ya, soal papamu, aku mengenalnya baru-baru ini, dan baru kemarin juga dia melamarku…”
“Apa?” Potong ku. Kata-katanya barusan itu membuatku tersentak, kepalaku serasa mendidih, mukaku merah. Bagaimana mungkin papa memilih seorang pengganti mama yang dikenalnya baru beberapa hari? Astaga, papa… gegabah sekali ia. Aku pergi dan meninggalkan perempuan itu di ruang tamu. Pergi, dan kabur dari rumah.
Aku menginap di panti tempat Gaby dulu dibesarkan. Tak ada yang tahu, bahkan Gaby sekalipun. Aku tak masuk sekolah, sudah lima hari absen tanpa keterangan. Handphoneku, sengaja ku nonaktifkan. Di panti, aku suka sekali memandang langit di kebun belakang. Rasanya seperti memandang ibu di kejauhan, hingga larut malam bahkan.
Ibu… seorang perempuan aneh ingin memasuki keluarga kita, aku tak rela bu. Tak rela ada yang menggantikan posisimu di hati papa. Bu, sampai kapanpun, aku tak akan mengakuinya sebagai ibu. Aku tak pernah ingin punya ibu tiri. Bu… kau dengar, kan?
“Nak, pulanglah. Ibu dapat kabar baru saja dari Gaby, papamu sakit,” Bu Suci menghampiri, aku masih termenung, tatapanku kosong. Ibu Suci, pengasuh di panti itu melanjutkan, “Katanya, sejak dua hari yang lalu, dia tak mau makan, selalu mengigau namamu. Gaby juga, tak tahu lagi mencarimu kemana. Kasihan keluargamu nak, apa kamu ingin kehilangan mereka?”
Air mataku berderai, aku menangis tanpa suara. Rasanya ada yang menghantam dadaku tiba-tiba, aku menghambur di pelukan bu Suci. Memeluknya erat, erat sekali. Aku kangen ibu, ayah juga.
“Pulanglah nak,” bisik bu Suci tepat di telingaku. Ia mengelus rambutku pelan, aku teringat ibu.
Aku pulang. Aku pulang sekaligus menyaksikan pernikahan papa dilangsungkan beberapa minggu setelahnya.
“Yang jelas, aku hanya kasihan sama papaku. Itu saja!” Tegasku.
Gaby memberenggut, tatapannya tajam, “Aku bahkan ingin sekali punya ibu, An…”
“Semua orang bisa jadi ibu Gab, yang pelacur sekalipun bisa.”
Aku berlari pulang, meninggalkan Gaby yang bersamaku sepulang sekolah di tepi jalan. Tak perduli dengan supir papa yang sudah datang menjemput, aku berlari kencang, membiarkan angin mengeringkan air yang meleleh di pipiku.
“Ana awaaas!!!” Plak. Kurasakan ada yang baru saja menyentuh tubuhku keras. Gaby terlihat samar, ada banyak orang juga yang tak kukenal, lalu dunia menjadi gelap.
***
“Kapan perbannya di buka, Pa?”
“Sabar sayang…,” papa menenangkan, suaranya parau. Menangis kah papa?
“Sayang, cepat sembuh ya…,” suara perempuan itu terasa sekali di telingaku, ia membelai rambutku.
Segera ku hardik tangannya, “Jangan sentuh!” Gertakku.

“An, besok kita liburan bareng kata papa, sekeluarga An.”
“Aku gak mau Gab, kamu saja. Bagiku, semuanya sudah gelap. Dimanapun, sama saja.”
“An…” Gaby memelukku, ia menangis tersedu. “Maafkan aku An, gara-gara aku…”
“Sudah takdir Tuhan Gab,” potongku.
“Jangan sedih, sayang. Yang kuat yah. Mama yakin, mata hatimu lebih tajam dari mata-mata kami,” sahut Maya, mama baruku itu. Aku hanya diam, tak menggubris perkataannya.
“An, jangan kayak gitu sama mama, dia sudah jadi mama buat kita, dia baik kok,” terang Gaby, mungkin perempuan itu sudah pergi.
“Susah Gab, dia gak akan pernah baik di mata ku.”
“An… Husss”
“Gab, kamu gak tahu rasanya jadi aku. Gampang aja kamu bilang kayak gitu, ibu kan bukan ibu kandung kamu. Rasa kehilangannya beda Gab. Terima dia, kamu fikir mudah? Aku gak mungkin bisa terima orang yang gak baik kayak dia,” mataku berkaca, perbannya sudah dibuka.
Lama terhenyak…
“An, mama nangis denger kamu bilang kayak gitu tadi, baru aja dia pergi. Dari tadi dia di sini, di samping kamu.”
“Biar aja!”
***
“Nak, dokter baru saja nelfon papa, katanya sudah ada donor buat kamu. Kamu akan segera melihat, sayang.”
“Yang bener pa… Asiiik,” kataku kegirangan. Aku gak bisa tidur sepanjang malam, memikirkan bagaimana dunia akan menyambutku hangat dan gelap yang akan meninggalkan duniaku dengan relanya. Aku merasakan pelukan Gaby dan papa yang hangat. Dimana perempuan itu, mama tiriku, tak senangkah dia?
***
Hari ini, setelah beberapa hari kemarin habis operasi, dokter membuka perban di mataku pelan sekali, padahal aku sudah sangat ingin melihat dunia, juga wajah papa dan Gaby. Lima bulan sudah, aku bertahan dalam keremangan dunia yang penuh kegelapan, ternyata gak enak, yah. Serasa dunia tak punya matahari dan bumi sedang padam listriknya. Gak enak, gak ada keindahan apa-apa di sana.
“Papa…,” wajahnya kuraba-raba, “Gaby…” Ah, tampang mereka masih sama saja. Tak ada yang benar-benar berubah. Aku celingukan, melihat kesekeliling.
“Perempuan itu mana Pa?”
“Mama kamu?”
Aku mengangguk.
“Dia… sudah pergi dari rumah, nak.”
“Oh ya?” Aku tertegun, ada rasa bersalah yang tiba-tiba menghardikku, apa iyya dia pergi karena aku?
Aku kembali ke rumah, suasananya sedikit berbeda. Gordennya putih, catnya putih, kebanyakan barang jadi warna putih. Putih adalah warna kesukaanku, lebih bersih dari warna-warna yang lain. Ah, penyambutan papa berlebihan sekali.
“Suka dengan dekorasi rumahnya, nak?”
“Suka banget pa… kalau begini caranya, bisa betah aku tinggal di rumah seharian,” kataku cengengesan.
“Mama kamu. Gak sia-sia.”
“Mama?” Aku terhenyak. Semuanya jadi hitam kembali di mataku.
“Gak jadi, aku gak suka. Papa ubah lagi yah, ke mode yang dulu, biar suasana ketika ibu ada jadi gak kelupa.”
“Mana mungkin papa melupakan ibumu?”
“Lalu, kenapa papa memilih wanita itu, kenapa papa membiarkan dia mengubah suasana rumah kita. Benar dugaanku, dia itu perusak keluarga kita.”
Plaaak!!! Tangan papa tepat di wajahku. Baru kali ini, papa menamparku. Rasanya perih, hatiku.
“Dia itu mama kamu. Amanah ibu kamu. Bahkan jika kamu bertanya pada papa kenapa ibu kamu memilih dia jadi penggantinya, papa gak tahu sayang,” papa mendekapku dalam pelukannya. Ia mendekapku erat, dadanya bergemuruh, aku harus tahu alasannya.
***
Aku mengunjungi rumah sakit hari ini, kata dokter penglihatanku harus tetap di kontrol seminggu sekali. Paling tidak, aku diberinya salep untuk merelaksasi kembali otot-otot mataku yang sempat kaku.
“Makasih dok,” begitu, ketika aku pamit dari ruangan dokter.
Ketika itu, aku tak sengaja menoleh ke kanan. Berkali-kali mataku ku kucek, perempuan yang duduk di bangku paling ujung dari antrian itu, mirip sekali istri papa, atau…
“Hey!” Aku menyapanya. Ia menatap lurus ke depan. “Hellooo…,” sapaku sedikit keras. Ia meraba kedepan. Namun wajahku masih jauh dari jangkauannya. Aku menerawang matanya baik-baik, ia tak berkedip meski telah ku lambai-lambaikan tanganku di depannya. Ia tak melihat. Ia tak melihat, ia tak melihatku. Ia buta?
“Mama…,” sapaku pelan. Ujung matanya berair, air matanya jatuh, tatapannya tetap kosong. Sebuah tongkat separuh badan di pegangnya sedari tadi.
“An?”
“Ma… jangan bilang mataku ini adalah mata mu,” dia diam. “Mama jawab aku ma…,” aku memeluknya, tubuhnya kurus, mataku tak henti berair.
“Ana?”
Aku mendongak, seorang pria bertubuh jakung menyebut namaku. Ia tersenyum, “Saya Danu, ponakannya kak Maya,” aku mengelap air mataku dan menahan sesenggukan. Kami berjabat tangan.
“Maaf An, aku harus bawa kak Maya ke ruangannya.”
“Ruangan, mau apa?” tanyaku penuh heran.
“Periksa mata,” jawabnya singkat. Mama dituntunnya pergi.
“Tunggu!” Dia menghentikan langkahnya, “Ma… tolong jelasin semuanya.”
“Maaf nak, harusnya aku menjaga amanah ibu mu. Begitu kata papamu. Bahkan ketika itu mama akan di lamar oleh kekasih mama. Mama tahu, tak akan pernah bisa menggantikan posisi ibu kamu. Tapi sudahlah, amanah ibumu sudah ku sentuh meski sedikit, mama ini sahabatnya,” ia memelukku erat. “Tetaplah melihat dunia, nak.”
Bodohnya aku.
“Ma… ma… Aku minta maaf. Pulanglah ma, bangun lagi keluarga kita, ambil lagi mata ini. Mana mungkin aku melihat apa yang harusnya mama lihat?”
Aku menahan isak, menahan tangis. Tak ingin membuat mata mama berair.
THANK’S
The End


0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB