Apakah semua penulis merasakan
yang sama atau ini hanya kekakuanku sebagai pemula.
Aku tidak mengerti, tiap-tiap orang
yang kutanyai, mereka selalu menjawab hal yang sama. Bahkan ketika aku
searching di google pun tak ada bedanya. “!Tulislah dari hati! Bagaimana
perasaanmu ketika menulis? Apa yang tidak masuk akal? Apa yang akan paling
menonjol ditulisanmu!”.
Apakah para penulis cerpen, yang
tulisan-tulisannya dimuat dimajalah, yang tak payah ku baca, mereka memikirkan
hal yang sama sebelum menulis? Apakah sebelum itu mereka menjadi tiap-tiap
tokoh yang ditulisnya? Apa iyya, mereka menunggu hatinya sedih sebelum menulis
adegan sedih? apakah semua inspirasinya datang dari pengalaman mereka. Atau
mereka tak boleh menuliskan apa yang belum mereka rasakan?
Beritahu aku! Apa itu benar?
Haruskah seperti itu? Kenapa semua pertanyaan itu malah membuat dadaku sesak.
Setiap inspirasi yang kufikirkan lenyap begitu saja ketika pertanyaan semacam
itu menggerogotiku tiba-tiba. Dibagian mana itu akan benar-benar membantu?
Sebelumnya aku tidak pernah
memikirkan kata kalah dan menyerah. Kotak terkirim di emailku bahkan meluap
bersama nama penerbit yang tak kunjung memberi balasan. Tapi sekarang, aku
mulai berfikir bahwa bukan pertanyaan itu yang salah, akulah penyebabnya.
Imajinasiku terlalu tinggi hingga tulisanku tak pernah masuk akal, salahkah
bila aku ingin menyamai kisah Harrypotter? Yang sukses dengan imajinasi diluar
batas? Aku salah telah menulis setiap saat, harusnya kutunggui dulu seseorang membuatku
menangis lalu menulis, harusnya kucobai dulu moment serupa baru aku bisa
menuliskannya. Bukankah harusnya seperti itu? Aku salah telah menulis
dimanapun, harusnya aku pergi dulu kesuatu tempat, tempat dimana orang-orang
bisa menemukan inspirasinya, seperti itu kan? Aku memang salah karena menulis
untuk diriku sendiri, sedang tulisan itu tak berarti apa-apa jika tak dibaca
orang lain. Harusnya kan seperti itu. Aku sudah mengakuinya! Jika demikian,
Inspirasi itu sulit sekali yah ditemukan. Makanya aku selalu memohon pada
Tuhan, agar dimudahkan jalanku menemukan sebuah inspirasi.
Sebenarnya, karena itu aku
menjadi benci berfikir ketika menulis. Fikiran itu plin plan, ia tak pernah
mengalirkan cerita sesuai harapan semula. Ia menjauhkanku dari kata logis,
membuatku mengubah adegan tiba-tiba. Berfikir membuatku melihat banyak
kemungkinan, lalu menjadi bingung memilih yang mana. Berfikir membuatku
kehilangan kosentrasi, aku bahkan tak melihat batas imajinasi, semuanya
melambung tanpa sepengetahuan. Akh… Lalu penulis yang mana, yang bisa menulis
tanpa berfikir? Itu artinya, aku bahkan membenci sebuah jalan menjadi penulis.
Huh…
Apakah semua penulis merasa
demikian? Atau hanya aku, dan kekakuanku sebagai pemula?
0 komentar:
Posting Komentar