The
skyscapers
By
Aprianti
Aku mengetahui
mereka dari sisa zaman yang ku kais-kais di puing peradaban.
Mereka...
Toing, cowok
paling gokil yang pernah aku kenal, bapaknya seorang pengepul barang bekas, ia
hidup selalu penuh masalah dengan keuangan, tapi karena alasan itulah ia gak
lagi kenal malu, apalagi buat ngekspresiin diri, sebut saja dialah jagonya. Dia
seperti gak ada masalah, kelihatan dari wujudnya, cukup berbobot. Hehehe ^_^
Radit, cowok
terkeren yang pernah gue jadiin sahabat. Punya jiwa petualang yang dia jajaki
setiap masa, tak tanggung-tanggung waktu kuliah pun ikut kesita. Egois sih,
tapi dengan motor kegedean miliknya, dia menjadi trendsetterdi penghujung semester. Masya Allah...
Loli, cewek
manja yang tahan hidup bertahun-tahun di dunia maya. Semua aplikasi sosial
sudah di cemplungin, ngupdate status basa-basi jadi hal lumrah ketika dia kita
pandangin.
Tapi, mereka lah
sahabatku. Kepunyaan kami akan jiwa yang berbeda-beda mengutuk kami untuk
saling bertemu dan melengkapi.
Piiip...Piiip
“Lis! Baca mulu
loe! Udah gak ada waktu nih, ayo berangkat,” teguran Loli menghentakku, dia
sudah siap, aku pun begitu. Sebenarnya kesiapan kami sudah sejam yang lalu, yah
karena Toing lalot amat jadilah aku ngasik baca buku dulu, rugi kalau liburan
gini buku gak kesentuh.
“Ayo..., eh,
Lol! Payung kamu?”
“Uh! Hampir aja,
thanksLis,” ia menyangklong payung
dalam tas ranselnya sambilan ngupdate status. Paling bilangnya, Have a nice trip... berangkat! Atau
apalah, basi mah! Hus, dia gak tau, udah ku delconsejak
lama. Xixixi :D
Nyengir kuda.
Bukan, bukan
karena Loli, tapi sumpah Radit keren banget. Ya Tuhan... tadah hatiku jika saja akan jatuh. Sebenarnya, gak
rela, aku gak sepaham.
***
“Uh, anniversary
pertama...”
“Apanya, Lol!”
“Ah, kamu Lis!
Ya persahabatan kita...”
“Yup, udah
setahun, dan baru kali ini kalian-kalian mau ngikutin jejak gue. Kalian bakal rasain,
bagaimana mimpi kita berempat di gantung di pohon tertinggi di gunung sana,” Radit
menunjuk ke puncak gunung yang akan di daki, senyumnya merekah, wajah segarnya
menyaingi alam dan lagi-lagi mataku tertarik oleh gravitasinya. Astagfirullah, nyebut Lis, nyebut!
“Hey! Kalian
ini, cepat dong jalannya! Mimpi terus di kejar, nyampe dulu kesananya!” Toing
mulai memberenggut dan menatap kesal kearah kami yang memang berjalan di
belakangnya. Kami mempercepat langkah segera, menyusul Toing beberapa langkah
di depan. “Hoy, tunggu!” teriaknya dalam engah. Ia kini menjadi yang
terbelakang.
“Ayo, Ing!
Katanya mau cepet nyampe?” Sahut Loli dengan payungnya yang mulai merekah.
“Istirahatlah
dulu, gue punya banyak cerita teman-teman.”
Hahahha
Toing-toing
Perjalanan yang
bakal cukup panjang, melelahkan. Pohon-pohon yang menghijau kini banyak yang
sudah tergusur para penebang ilegal. Berhektar-hektar tanah kosong tak lagi
jadi hal asing yang kami temui. Pantes, belum setengah jalan, aku sudah gak
tahan kehausan, stok air juga sisa dikit lagi, sedang Loli telah terkulai
lemas. Toing sendiri tak payah mengarang lelucon, meski dirinya sudah
bermandikan cucur keringat. Katanya, biar kami semangat. Untuk sesaat, kami
memutuskan beristirahat.
“Minum, Lis!”
Radit menawarkan.
Allahu Akbar Allahu Akbar! Adzan
dzuhur bergema, dari ponsel yang sengaja telah ku setel alarmnya.
Aku beranjak,
mengambil air yang di tawarin Radit, lalu wudhu seperlunya. Sisanya ku sisakan
lagi untuk di pakai Toing dan Loli berwudhu setelahku.
Aku, Loli dan
Toing mengambil saf, ditengah tanah lapang yang cukup menyingkap tabir mentari
dan permukaan bumi tanpa penghalang.
“Cukup terik,
Lis!”
“Tapi sudah
waktunya, gak boleh ketunda! Jangan ngeluh Lol, mata neraka lebih panas dari
ini...”
“Allaaahu
Akbar!”
Wiiih... Toing,
cepet banget pergerakannya, tanpa aba-aba pula, atau aku yang sibuk ceramah *carfree*
Toing selalu
jadi imam di antara kami bertiga, tapi aku selalu lebih mengagumi Radit di
banding dia, entah kenapa. Padahal, Radit tak seagama dengan kami bertiga. Ia
juga yang paling nakal di antara kami, tapi yang paling banyak pula menabung
mimpi. Mungkin karena itu.
“Oh ya, Radit
mana?” kataku celingukan usai mengucap salam. Ia tak ada.
“Dit! Radit!”
“Gimana dong,
Lis. Lanjut gak nih? Udah mulai gelap.”
“Aduuuh, gue
juga gak tahu Ing, jalan pulang aja kita gak tahu.”
“Jaringaaan!...
uh, Lis, gimana dong nih, gak ada jaringan, mana bisa gue ngupdate status kalo
gini,” gumam Loli sambil melambaikan Hpnya di udara.
“Apa Lol?
Ngupdate? Udah keadaannya kayak gini, loe masih mikirin buat ngupdate. Kita
lagi di hutan, loe jangan banyak tingkah deh!” Bentakku geram.
“Loe jangan
mikir negatif gitu dong Lis, gue ngupdate juga ada gunanya buat kita!”
“Hah! Itu cuman
buat puasin nafsu loe doang, kan? Biar eksis?”
“Jaga mulut loe,
Lis!”
Loli menjambak
jilbab gue, gak bisa nahan lagi, gue juga ngejambak rambut dia. Gaduh. Emosi
kita meletup-letup kejebak panik. Toing yang berusaha melerai malah ikut
terjambak tangan Loli, ia tersungkur dan Plakkk!!! Pukulan cukup pedih tepat di
wajah Radit. Toing tak bisa menahan geram, begitu Radit muncul di belakangnya
tanpa mengaku salah apa-apa.
“Ini untuk Loe,
dan teman-teman loe itu, yang udah berani ngabisin air minum gue tadi. Loe
fikir bisa, kita nyampe ke atas dengan hutan segersang ini, tanpa setetes air?
Hah! Loe make bukan buat minum lagi? Plaaak!” Radit membalas, begitu
pertarungan sengit itu membuat Toing melemah. Toing terlempar, terguling hingga
ke tepi... gue dan Loli tersentak,
“Toing, awas!
Pegangin tangan gue!”
Gue megangin
tangan kiri sedang Loli megangin tangan kanannya, di sebuah jurang yang kedalamannya
tak terjamah mata. Bagaimanapun, tubuh Toing yang gempal gak bisa benar-benar
kami tahan. Tubuhnya masih bergelantungan, mencoba meraih permukaan.
“Lis, tangan
gue...” Loli menatap gue, setetes air matanya jatuh. Bibirnya sudah di gigit
segitu kuat, mengerang segitu kuat, bertahan Lol.
“Dit! Loe itu
sahabat kita! Gue tahu kita beda agama, tapi loe jangan egois Dit, agama loe
juga gak suka orang egois. Udah setahun Dit, semua ini rencana Loe. Tanggung
jawab Dit, ayo! Tolongin Toing!!!” Gue teriak sambil ngeredam sakit, meneriaki
Radit yang hanya diam tanpa bahasa.
“Radit!
Tolooong...” Loli melemas, pegangannya tak lagi kuat, aku tak bisa... menarik
nafas rasanya sesak, aku tak bisa melepas Toing, tapi pandanganku kabur,
kepalaku pusing, jujur... bebatuan menggesek tanganku hingga luka, pedih.
Semuanya gelap, aku pingsan, mungkin lebih dulu daripada Loli.
***
“Loli...” kataku
begitu tersadar. Kepalaku masih sakit.
“Maafin gue...
maksud gue update status bukan ingin eksis tapi biar orang-orang tahu, dan kita
bisa ada yang bantu, tapi gue memang egois! Sungguh, menyebalkan, kan?” Ia
tertawa lepas.
Aku segera
memeluk Loli, “Tak ada yang mesti di maafin, aku yang salah, menuduh loe
bukan-bukan,” Ia kutatap dalam-dalam, dan air mataku berderai tanpa ijin. “Oh
ya, Toing mana?” Lama, ia tak menjawab, “Toing... jangan bilang dia ninggalin
kita Lol... Loli, jawab gue!”
“Aku ada kok,” sahut Toing tiba-tiba.
Pelukanku ku renganggangkan, lalu tersenyum ke arah Toing yang berdiri di
belakang Loli. Disampingnya ada Radit, tersenyum juga ke arah gue. Raut muka
gue berubah masam, gue udah benci sama dia, seorang egois gitu, bukan temen
gue.
“Radit Lis, yang
nyelamatin gue waktu loe dan Loli pingsan.”
“Makasih, Dit!”
Ucap gue cuek. Radit tak lagi banyak menggubris, sepertinya ia tahu ia salah.
“Gue tahu...
maafin gue Lis, Lol, Ing! Gue gak pantes kalian sebut sahabat,” ia menatap gue
dan gue menatapnya sinis hingga ia benar-benar tertunduk.
“Gimana nih,
Lis?
“Kalo bukan
karena menaati Tuhan untuk saling memaafkan, gue gak akan maafin.”
“Jadi?” Ratapnya
gamang.
***
Aku mutusin buat
pulang, perjalanan segitu rumit yang akan banyak menjadikan kami berselisih
adalah suatu kesia-siaan saja. Jalan pulang kami susuri tanpa candaan, mungkin
cukup trauma atau cukup risih untuk bergurau lagi. Namun, lagi-lagi kami di
hadang adzan dzuhur di tengah padang yang luas, bedanya, bukan panas lagi yang
kami dapat, namun awan gelap yang bersiap menumpahkan muatannya.
“Ini ada air
sisa kemarin, pakai saja,” Radit menawarkan.
“Gak perlu,
minum saja. Kami bisa tayammum kok,” jawabku ketus, debu tanah, kuusapkan
menurut tata cara bertayammum. Toing dan Loli juga melakukan hal serupa.
Kami sholat
berjamaah, meminta Tuhan menjamahi impian kami, tanpa harus di gantungkan di
gunung beneran. Kami salah, harusnya bukan cara itu untuk menjadi pencakar
langit, lalu menangis sebab keegoisan. Harusnya dengan-Mu Tuhan, kami mengadu
segala impian, lalu meraihnya dengan titik air mata. Bukan seperti yang kami
lakukan ini... Kami bersujud, ditanah tempat kami berasal, memohon ampun atas
khilaf yang tak terberi.
Langit ikut
menangis, titik-titik air mengenai kami. Pipiku basah, bukan sebab hujan itu.
Aku sama sekali tak tersentuh hujan. Mataku berair sebab Radit. Dengan payung
Loli, ia memayungi kami yang lagi sholat. Subhanallah...
“Teman... ampun
kan aku pada Tuhanmu ya,”bisiknya.
***
Katakanlah:
“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Al-Zumar [39] ayat 53)
***
The End
0 komentar:
Posting Komentar