cerpen: terbitan buku antologi cerpen

Selasa, 04 Agustus 2015 0 komentar
The skyscapers
By Aprianti

Aku mengetahui mereka dari sisa zaman yang ku kais-kais di puing peradaban.
Mereka...
Toing, cowok paling gokil yang pernah aku kenal, bapaknya seorang pengepul barang bekas, ia hidup selalu penuh masalah dengan keuangan, tapi karena alasan itulah ia gak lagi kenal malu, apalagi buat ngekspresiin diri, sebut saja dialah jagonya. Dia seperti gak ada masalah, kelihatan dari wujudnya, cukup berbobot. Hehehe ^_^
Radit, cowok terkeren yang pernah gue jadiin sahabat. Punya jiwa petualang yang dia jajaki setiap masa, tak tanggung-tanggung waktu kuliah pun ikut kesita. Egois sih, tapi dengan motor kegedean miliknya, dia menjadi trendsetterdi penghujung semester. Masya Allah...
Loli, cewek manja yang tahan hidup bertahun-tahun di dunia maya. Semua aplikasi sosial sudah di cemplungin, ngupdate status basa-basi jadi hal lumrah ketika dia kita pandangin.
Tapi, mereka lah sahabatku. Kepunyaan kami akan jiwa yang berbeda-beda mengutuk kami untuk saling bertemu dan melengkapi.
Piiip...Piiip
“Lis! Baca mulu loe! Udah gak ada waktu nih, ayo berangkat,” teguran Loli menghentakku, dia sudah siap, aku pun begitu. Sebenarnya kesiapan kami sudah sejam yang lalu, yah karena Toing lalot amat jadilah aku ngasik baca buku dulu, rugi kalau liburan gini buku gak kesentuh.
“Ayo..., eh, Lol! Payung kamu?”
“Uh! Hampir aja, thanksLis,” ia menyangklong payung dalam tas ranselnya sambilan ngupdate status. Paling bilangnya, Have a nice trip... berangkat! Atau apalah, basi mah! Hus, dia gak tau, udah ku delconsejak lama. Xixixi :D
Nyengir kuda.
Bukan, bukan karena Loli, tapi sumpah Radit keren banget. Ya Tuhan... tadah hatiku jika saja akan jatuh. Sebenarnya, gak rela, aku gak sepaham.
***
“Uh, anniversary pertama...”
“Apanya, Lol!”
“Ah, kamu Lis! Ya persahabatan kita...”
“Yup, udah setahun, dan baru kali ini kalian-kalian mau ngikutin jejak gue. Kalian bakal rasain, bagaimana mimpi kita berempat di gantung di pohon tertinggi di gunung sana,” Radit menunjuk ke puncak gunung yang akan di daki, senyumnya merekah, wajah segarnya menyaingi alam dan lagi-lagi mataku tertarik oleh gravitasinya. Astagfirullah, nyebut Lis, nyebut!
“Hey! Kalian ini, cepat dong jalannya! Mimpi terus di kejar, nyampe dulu kesananya!” Toing mulai memberenggut dan menatap kesal kearah kami yang memang berjalan di belakangnya. Kami mempercepat langkah segera, menyusul Toing beberapa langkah di depan. “Hoy, tunggu!” teriaknya dalam engah. Ia kini menjadi yang terbelakang.
“Ayo, Ing! Katanya mau cepet nyampe?” Sahut Loli dengan payungnya yang mulai merekah.
“Istirahatlah dulu, gue punya banyak cerita teman-teman.”
Hahahha Toing-toing
Perjalanan yang bakal cukup panjang, melelahkan. Pohon-pohon yang menghijau kini banyak yang sudah tergusur para penebang ilegal. Berhektar-hektar tanah kosong tak lagi jadi hal asing yang kami temui. Pantes, belum setengah jalan, aku sudah gak tahan kehausan, stok air juga sisa dikit lagi, sedang Loli telah terkulai lemas. Toing sendiri tak payah mengarang lelucon, meski dirinya sudah bermandikan cucur keringat. Katanya, biar kami semangat. Untuk sesaat, kami memutuskan beristirahat.
“Minum, Lis!” Radit menawarkan.
Allahu Akbar Allahu Akbar! Adzan dzuhur bergema, dari ponsel yang sengaja telah ku setel alarmnya.
Aku beranjak, mengambil air yang di tawarin Radit, lalu wudhu seperlunya. Sisanya ku sisakan lagi untuk di pakai Toing dan Loli berwudhu setelahku.
Aku, Loli dan Toing mengambil saf, ditengah tanah lapang yang cukup menyingkap tabir mentari dan permukaan bumi tanpa penghalang.
“Cukup terik, Lis!”
“Tapi sudah waktunya, gak boleh ketunda! Jangan ngeluh Lol, mata neraka lebih panas dari ini...”
“Allaaahu Akbar!”
Wiiih... Toing, cepet banget pergerakannya, tanpa aba-aba pula, atau aku yang sibuk ceramah *carfree*
Toing selalu jadi imam di antara kami bertiga, tapi aku selalu lebih mengagumi Radit di banding dia, entah kenapa. Padahal, Radit tak seagama dengan kami bertiga. Ia juga yang paling nakal di antara kami, tapi yang paling banyak pula menabung mimpi. Mungkin karena itu.
“Oh ya, Radit mana?” kataku celingukan usai mengucap salam. Ia tak ada.
“Dit! Radit!”
“Gimana dong, Lis. Lanjut gak nih? Udah mulai gelap.”
“Aduuuh, gue juga gak tahu Ing, jalan pulang aja kita gak tahu.”
“Jaringaaan!... uh, Lis, gimana dong nih, gak ada jaringan, mana bisa gue ngupdate status kalo gini,” gumam Loli sambil melambaikan Hpnya di udara.
“Apa Lol? Ngupdate? Udah keadaannya kayak gini, loe masih mikirin buat ngupdate. Kita lagi di hutan, loe jangan banyak tingkah deh!” Bentakku geram.
“Loe jangan mikir negatif gitu dong Lis, gue ngupdate juga ada gunanya buat kita!”
“Hah! Itu cuman buat puasin nafsu loe doang, kan? Biar eksis?”
“Jaga mulut loe, Lis!”
Loli menjambak jilbab gue, gak bisa nahan lagi, gue juga ngejambak rambut dia. Gaduh. Emosi kita meletup-letup kejebak panik. Toing yang berusaha melerai malah ikut terjambak tangan Loli, ia tersungkur dan Plakkk!!! Pukulan cukup pedih tepat di wajah Radit. Toing tak bisa menahan geram, begitu Radit muncul di belakangnya tanpa mengaku salah apa-apa.
“Ini untuk Loe, dan teman-teman loe itu, yang udah berani ngabisin air minum gue tadi. Loe fikir bisa, kita nyampe ke atas dengan hutan segersang ini, tanpa setetes air? Hah! Loe make bukan buat minum lagi? Plaaak!” Radit membalas, begitu pertarungan sengit itu membuat Toing melemah. Toing terlempar, terguling hingga ke tepi... gue dan Loli tersentak,
“Toing, awas! Pegangin tangan gue!”
Gue megangin tangan kiri sedang Loli megangin tangan kanannya, di sebuah jurang yang kedalamannya tak terjamah mata. Bagaimanapun, tubuh Toing yang gempal gak bisa benar-benar kami tahan. Tubuhnya masih bergelantungan, mencoba meraih permukaan.
“Lis, tangan gue...” Loli menatap gue, setetes air matanya jatuh. Bibirnya sudah di gigit segitu kuat, mengerang segitu kuat, bertahan Lol.
“Dit! Loe itu sahabat kita! Gue tahu kita beda agama, tapi loe jangan egois Dit, agama loe juga gak suka orang egois. Udah setahun Dit, semua ini rencana Loe. Tanggung jawab Dit, ayo! Tolongin Toing!!!” Gue teriak sambil ngeredam sakit, meneriaki Radit yang hanya diam tanpa bahasa.
“Radit! Tolooong...” Loli melemas, pegangannya tak lagi kuat, aku tak bisa... menarik nafas rasanya sesak, aku tak bisa melepas Toing, tapi pandanganku kabur, kepalaku pusing, jujur... bebatuan menggesek tanganku hingga luka, pedih. Semuanya gelap, aku pingsan, mungkin lebih dulu daripada Loli.
***
“Loli...” kataku begitu tersadar. Kepalaku masih sakit.
“Maafin gue... maksud gue update status bukan ingin eksis tapi biar orang-orang tahu, dan kita bisa ada yang bantu, tapi gue memang egois! Sungguh, menyebalkan, kan?” Ia tertawa lepas.
Aku segera memeluk Loli, “Tak ada yang mesti di maafin, aku yang salah, menuduh loe bukan-bukan,” Ia kutatap dalam-dalam, dan air mataku berderai tanpa ijin. “Oh ya, Toing mana?” Lama, ia tak menjawab, “Toing... jangan bilang dia ninggalin kita Lol... Loli, jawab gue!”
 “Aku ada kok,” sahut Toing tiba-tiba. Pelukanku ku renganggangkan, lalu tersenyum ke arah Toing yang berdiri di belakang Loli. Disampingnya ada Radit, tersenyum juga ke arah gue. Raut muka gue berubah masam, gue udah benci sama dia, seorang egois gitu, bukan temen gue.
“Radit Lis, yang nyelamatin gue waktu loe dan Loli pingsan.”
“Makasih, Dit!” Ucap gue cuek. Radit tak lagi banyak menggubris, sepertinya ia tahu ia salah.
“Gue tahu... maafin gue Lis, Lol, Ing! Gue gak pantes kalian sebut sahabat,” ia menatap gue dan gue menatapnya sinis hingga ia benar-benar tertunduk.
“Gimana nih, Lis?
“Kalo bukan karena menaati Tuhan untuk saling memaafkan, gue gak akan maafin.”
“Jadi?” Ratapnya gamang.
***
Aku mutusin buat pulang, perjalanan segitu rumit yang akan banyak menjadikan kami berselisih adalah suatu kesia-siaan saja. Jalan pulang kami susuri tanpa candaan, mungkin cukup trauma atau cukup risih untuk bergurau lagi. Namun, lagi-lagi kami di hadang adzan dzuhur di tengah padang yang luas, bedanya, bukan panas lagi yang kami dapat, namun awan gelap yang bersiap menumpahkan muatannya.
“Ini ada air sisa kemarin, pakai saja,” Radit menawarkan.
“Gak perlu, minum saja. Kami bisa tayammum kok,” jawabku ketus, debu tanah, kuusapkan menurut tata cara bertayammum. Toing dan Loli juga melakukan hal serupa.
Kami sholat berjamaah, meminta Tuhan menjamahi impian kami, tanpa harus di gantungkan di gunung beneran. Kami salah, harusnya bukan cara itu untuk menjadi pencakar langit, lalu menangis sebab keegoisan. Harusnya dengan-Mu Tuhan, kami mengadu segala impian, lalu meraihnya dengan titik air mata. Bukan seperti yang kami lakukan ini... Kami bersujud, ditanah tempat kami berasal, memohon ampun atas khilaf yang tak terberi.
Langit ikut menangis, titik-titik air mengenai kami. Pipiku basah, bukan sebab hujan itu. Aku sama sekali tak tersentuh hujan. Mataku berair sebab Radit. Dengan payung Loli, ia memayungi kami yang lagi sholat. Subhanallah...
“Teman... ampun kan aku pada Tuhanmu ya,”bisiknya.
***
Katakanlah:
“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Al-Zumar [39] ayat 53)
***
The End


0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB