Phytagoras
Nightmare
By
Aprianti
Hari
ini aku bermimpi, ada kamu! Tak tahu mengapa kamu bisa hadir, karena rasanya
aku tak pernah melayangkan undangan ataupun doa untuk berharap kamu ada.
Seperti jelangkung, yang datang tak di jemput pulang pun tak di antar. Terbesit
tanya, apa mungkin kamu jodohku? *hope face*
Di
mimpiku, kau tersenyum, seolah kita telah saling akrab sekian lama, padahal
nyatanya tak pernah kita saling sapa meski dalam kelas yang sama. Senyum itu
tak kau jaga lama, hingga kemudian suaramu memecah lamunanku yang sangat ingin tahu
arti senyummu apa. Kau bilang,
“Matematika
itu mudah!”
Kata-katamu
itulah yang membuatku tertegun lama, seakan bisa kau baca perasaanku yang gusar
sebab sulitnya memahami matematika yang telah ku pendam sejak lama. Aku tahu,
itu memang kamu, yang mencintai matematika terlampau amat.
Tapi
setelah itu, aku tak tahu bagaimana cara mengakhirinya, denting alarm yang
seketika berbunyi melenyapkanmu dalam angan. Tersadar, adzan subuh telah
bersahutan di tepi-tepian langit, sedang ayam-ayam berlomba berkokok yang
sepertinya tak mau ketinggalan bagian rezeki hari ini. Uh! Beraninya dia ngebawa-bawa matematika di mimpiku. Gerutuku yang
masih terpaku di balik selimut. Ada harap bahwa mimpi adanya kamu adalah hanya
bunga tidur penghias malamku yang cukup melelahkan. Yah, aku hanya terlalu
lelah. Harusnya kamu hadir tanpa matematika.
*
Malam
setelah malam kamarin, sengaja kusibukkan diriku sendiri, mencari segala
sesuatu yang bisa mengidap dalam fikiranku lebih lama. Aku tak mau, tak mau
kamu hadir di mimpi yang sama, tak mau kamu mengusik hariku terlampau dalam.
Sudah cukup aku yang tertancap malu di depanmu sebab tak bisa menjawab soal
yang sama dengan yang kau jawab di bukumu tadi. Aku jelas bukan pendampingmu.
Fikirku dalam sesak yang ku tahan di depan kamu.
Aku
yang berlari pergi saat kau ajari rumus-rumus segala rupa itu, mengikut
beberapa alasan. Pertama, aku jadi sadar, kau akan lebih menyukai matematika
dari pada aku kelak. Bukankah matematika itu kaku? Yah, kurasa kekakuanmu
sebagai lelaki pun tercipta karena itu. Kedua, kamu suka bermain phytagoras
sedang aku yang terlalu benci dengan dalil itu. Dalil yang menurutku
menghalalkan cinta segitiga. Tak ada orang ketiga, maka tak jadilah dalil
Phytagoras. Dari segi itu, aku mundur menjadi salah satu yang bisa melengkapkan
segitiga phytagorasmu. Kembali, aku menolakmu untuk hadir di mimpiku lagi.
Hal
tak terduga terjadi, hal yang tak ku inginkan ada menggentayangi mimpiku malam
ini. Sebuah kesialan! adapun kamu yang lagi-lagi mengikutkan matematika yang
telah jelas-jelas aku tolak. Kamu ada, duduk tenang di ruang mimpiku, dengan
gambaran yang sama saat di kelas matematika tadi, ku perhatikan kamu yang
begitu serius menggambar segitiga, uh! emang
ini ruangan matematika, apa! Teriakku geram. Kamu berhenti sekian detik,
menatapku sinis. Aku tak perduli. Segitiga yang telah kau buat ku ambil paksa,
yang sisi-sisinya baru saja akan kau hitung dengan rumus phytagoras. Ku potong
sudut-sudut segitiga itu menjadi garis lurus yang hanya ada dua titik, kamu dan
aku. Tapi hal yang tak ku duga terjadi, kekhawatiranku benar! bahwa kamu lebih
memilih matematika daripada aku, itu benar. Aku tahu kamu geram, mengepal
tangamu kuat-kuat, aku bisa melihat ada urat-urat nadi yang menegang di
pergelanganmu, dan tiba-tiba kau menonjokku keras, seperti pegulat kau banting
tubuhku yang kurus tanpa belas kasih. Aku lemas tanpa daya, mataku berair
karena sadar tanpa bisa mengucap sepatah pun hingga bayangmu termakan angin
dalam anganku.
**
Malam
penuh keburukan itu berlalu, ku harap aku bisa meninggalkan kelas matematika
setelah ini. Saking muaknya, aku tak tahu lagi sekarang, bagaimana membedakan
kamu dengan matematika, kamu dan dia sama-sama menjadi enemy dalam mimpiku
kini.
Aku
hampir saja menamai rentetan mimpi yang ada kamu adalah mimpi buruk sepanjang
hidupku, untung saja kamu yang sempat mengenyahkanku di mimpi sebelumnya hadir
kembali di mimpiku kali ini. Mimpi yang aneh, aku terlahir kembali, tanpa tahu
apa-apa, termasuk kebencian akan matematika. Samar-samar kamu berkata,
“Phytagoras
itu... ketika kedua sisinya dijumlahkan maka hasilnya adalah sisi ketiga yang
lebih panjang. Itu serupa kita, ketika ada aku yang menurutmu kaku karena
matematika lalu bersama kamu yang easygoingkarena
seni, akan menjadi kita dengan kisah yang lebih panjang, aku sama sekali tak
menunggu orang ketiga,” katamu gamang sebelum semuanya buyaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrr.......
“Apri!!!
kerjakan soal phytagoras di atas papan!” teriak Bu Imah, guru matematika
tergalak yang sontak membuat mataku terbelalak. Tersadar, aku telah tertidur di
dalam kelas sepanjang pelajaran.
Sedikit
menoleh ke belakang, ada kamu yang tersenyum getir melihatku diam-diam, sebelum
kembali ku arahkan tanganku untuk mengerjakan soal phytagoras yang entah sangat
ingin ku jadikan teman akrab.
***
Kedatanganmu
yang tiba-tiba itu tak membuatku menyalahkanmu Tuan, tidak juga ingin
mengusirmu begitu saja tanpa tanggungjawab sebab kau telah membuatku berfikir
bahwa kau adalah titisan Tuhan untuk jadi lelakiku kelak.
Kehadiranmu
membangunkan harapku dari tidur panjangnya. Seisi hati jadi was-was seketika
hanya bila kau tersenyum. Dari arah yang aku pun tak duga, sosokmu menjadi
gravitasi kornea mata. Aku tak bisa menolak, meluapkannya pun tidak, aku
terlalu pandai menyembunyikan rasa dalam diam.
Ku
harap, bahwa dalam diam ku, kau temukan rahasia rumus phytagoras yang hanya
kita yang akan tahu dan jadi pelakon di dalamnya. Yah, kini dengan tahu itu,
phytagoras menjadi alasan aku bisa PDKT ke kamu. Kamu, pesaing terberatku di
kelas matematika.
end
0 komentar:
Posting Komentar