By Aprianti
“Ma… sakit!” Keluhku pada mama. Ini sudah kedua kalinya
aku mengeluh, pun hari ini lebih sakit dari yang kemarin. Sebenarnya rasa sakit
ini masih lebih ringan dari rasa takutku. Aku takut mama menyuruhku menganga
lalu melihat seisi mulutku cermat. Aku benar-benar takut.
*
Aku melihat jelas Mail keluar dari ruangan itu penuh
isak, sedang mamanya berkeringat. Satu tangan mamanya menutup pintu ruangan itu
cukup cepat, dan satunya lagi memegang tangan Mail kuat, kata mama agar ia tak
lari. Semenyeramkan itu kah? Batinku.
Aku tak henti menghembuskan nafas panjang, kata mama itu
baik menghilangkan rasa takut. Tapi tetap saja, aku takut! Dan dadaku berdetak lebih
kencang dari sebelumnya, “Ma… besok saja yah?” kataku sambil meratap.
“Kenapa nak, sebentar lagi nama kamu loh…,” mama mengusap
pipiku yang mulai basah. Kulihat dari jauh, berselang satu nama lagi namaku
disebut, dan mama sama sekali tak menghiraukan permintaanku. Hufff… Untuk kali
ini, kuhembuskan nafasku keras-keras, berharap semua rasa takutku ikut pergi.
Pernah sekali aku menginjak tempat ini, seperti neraka ku
kira. Seorang anak seusiaku masuk dan berlari keluar, berkali-kali ia menyebut
“tang” dengan wajah ketakutan. Difikiranku, ayah pernah menyuruhku mengambil
tang untuk ban mobilnya yang bocor. Aku tak sempat berfikir panjang lagi,
sampai aku berhasil meronta dan menarik tangan mama untuk pulang.
Keringatku mengucur deras, mama tak henti memegangiku
erat, “Ma ma…,” kutatap mata mama lekat. Entah sebab apa aku merasa lebih lega,
mungkin sebelumnya aku telah dijanjikan sebuah sepeda. Sepeda. Sepeda. Sepeda.
Sepe… terdengar suara pintu terbuka. Aku tidak bisa, aku tidak bisa, “Ma, aku
tidak mau!”
“Sayang, sudah giliran kita,” tangan mama menggenggam
tanganku erat yang tetap meronta di belakangnya. Aku ditarik paksa. “Sayang…
cuman sebentar kok, sakitnya seperti digigit semut saja,” bujuk mama. Ia
merunduk dan mengelus kepalaku pelan. Aku bisa merasa sedikit lega. Bukan
karena mama, tapi baru kali ini, anak perempuan yang baru saja keluar ruangan
itu tersenyum bahagia. Tidak sakit kah? Aku mulai berfikir tentang perempuan
dan laki-laki. Ayah pernah bilang jangan pernah kalah dari perempuan. Bisa jadi
memang tidak sakit, Mail kan memang cengeng. Ketemu kucing saja takut. “Ayo ma…,”
kali ini berbeda, akulah yang menarik tangan mama ke ruangan itu. Semua pasien yang
antri menatap kearahku heran. Mereka pasti melihat ada superhero yang memasuki ruangan.
Sebagai anak usia 8 tahun, aku tidak terlalu cengeng, buktinya aku mirip Harry potter-kata ayah.
Terdengar suara pintu tertutup.
Dokternya cukup ramah, cantik, tidak mungkin ia tega menyakiti
anak-anak. Seperti anak yang lain, aku dengan rela membiarkan tubuhku rebah di atas
sebuah pembaringan. Bagian atasnya membuat kepalaku otomatis menengadah. Aku
bisa melihat bayangan mama di langit-langit,
jangan banyak makan permen! Sikat gigi dulu sebelum tidur! Lihat kan,
tang-nya datang!
“Mama… mana tang-nya ma… mana ma…,” aku tersentak
gelagapan. Sebuah alat serupa tang tengah mengkilap-kilapnya didepan mataku. Di
mataku, dokter cantik itu tiba-tiba berubah jadi nenek sihir yang jahat. Ia
yang memegang tangnya sambil melihat kearahku.
“Mama!!!” Teriakku keras.
Mama melihat kearahku, “Ayo pulang!” Aku celingukan
kebingungan, kenapa kali ini mama yang mengajakku pulang? Apakah mama sadar
kalau perempuan ini orang jahat? Atau…, “Kau mau pulang kan, ayo!”
“Giginya, gimana ma?” Tatapku penuh curiga. Sebenarnya
aku tidak berniat mengingatkan mama, tapi sepertinya mama menyembunyikan sesuatu,
tapi kalau memang mama benar-benar lupa, ah… sial sekali aku telah
mengingatkannya.
“Kan sudah tadi, coba lihat di cermin,” aku tidak salah
dengar? Mataku terbelalak. Di depan cermin, kubuka mulutku pelan. Huh… aku
menghembuskan nafas lega. Aku tidak percaya!
“Gak sakit kan sayang?”
Aku terdiam. Sesekali memerhatikan barisan gigiku lagi yang
telah bolong di bagian depan atasnya.
“Ma…,” kuremas kuat-kuat kerudung mama. Ia kupeluk erat.
“Kenapa sedih super hero mama?”
“Gigi ku kehilangan satu keluarganya, ma. Aku ompong. Apa
aku seperti kakek-kakek sekarang? Uhuk-uhuk!!!”
Aku tidak mengerti, kenapa saat itu mama dan dokter
cantik itu tertawa cekikikan. Tapi yang pasti, aku tidak lagi takut cabut gigi.
Hanya saja, aku tetap tidak mau jadi macan ompong seperti ini. Ah, aku tidak
mau makan permen lagi! Aku juga akan rajin sikat gigi!
Bak super hero, aku keluar dari ruangan itu. Senyumku
merekah. Aku berjalan bangga sambil memperlihatkan gigi ompongku pada dunia.
Hari itu, aku sudah membuat beberapa anak yang kegugupan di ruang tunggu menjadi
lebih berani.
end
0 komentar:
Posting Komentar