cerpen: SAKIT GIGI

Selasa, 04 Agustus 2015 0 komentar

By Aprianti
“Ma… sakit!” Keluhku pada mama. Ini sudah kedua kalinya aku mengeluh, pun hari ini lebih sakit dari yang kemarin. Sebenarnya rasa sakit ini masih lebih ringan dari rasa takutku. Aku takut mama menyuruhku menganga lalu melihat seisi mulutku cermat. Aku benar-benar takut.
*
Aku melihat jelas Mail keluar dari ruangan itu penuh isak, sedang mamanya berkeringat. Satu tangan mamanya menutup pintu ruangan itu cukup cepat, dan satunya lagi memegang tangan Mail kuat, kata mama agar ia tak lari. Semenyeramkan itu kah? Batinku.
Aku tak henti menghembuskan nafas panjang, kata mama itu baik menghilangkan rasa takut. Tapi tetap saja, aku takut! Dan dadaku berdetak lebih kencang dari sebelumnya, “Ma… besok saja yah?” kataku sambil meratap.
“Kenapa nak, sebentar lagi nama kamu loh…,” mama mengusap pipiku yang mulai basah. Kulihat dari jauh, berselang satu nama lagi namaku disebut, dan mama sama sekali tak menghiraukan permintaanku. Hufff… Untuk kali ini, kuhembuskan nafasku keras-keras, berharap semua rasa takutku ikut pergi.
Pernah sekali aku menginjak tempat ini, seperti neraka ku kira. Seorang anak seusiaku masuk dan berlari keluar, berkali-kali ia menyebut “tang” dengan wajah ketakutan. Difikiranku, ayah pernah menyuruhku mengambil tang untuk ban mobilnya yang bocor. Aku tak sempat berfikir panjang lagi, sampai aku berhasil meronta dan menarik tangan mama untuk pulang.
Keringatku mengucur deras, mama tak henti memegangiku erat, “Ma ma…,” kutatap mata mama lekat. Entah sebab apa aku merasa lebih lega, mungkin sebelumnya aku telah dijanjikan sebuah sepeda. Sepeda. Sepeda. Sepeda. Sepe… terdengar suara pintu terbuka. Aku tidak bisa, aku tidak bisa, “Ma, aku tidak mau!”
“Sayang, sudah giliran kita,” tangan mama menggenggam tanganku erat yang tetap meronta di belakangnya. Aku ditarik paksa. “Sayang… cuman sebentar kok, sakitnya seperti digigit semut saja,” bujuk mama. Ia merunduk dan mengelus kepalaku pelan. Aku bisa merasa sedikit lega. Bukan karena mama, tapi baru kali ini, anak perempuan yang baru saja keluar ruangan itu tersenyum bahagia. Tidak sakit kah? Aku mulai berfikir tentang perempuan dan laki-laki. Ayah pernah bilang jangan pernah kalah dari perempuan. Bisa jadi memang tidak sakit, Mail kan memang cengeng. Ketemu kucing saja takut. “Ayo ma…,” kali ini berbeda, akulah yang menarik tangan mama ke ruangan itu. Semua pasien yang antri menatap kearahku heran. Mereka pasti melihat ada superhero yang memasuki ruangan. Sebagai anak usia 8 tahun, aku tidak terlalu cengeng, buktinya aku  mirip Harry potter-kata ayah.
Terdengar suara pintu tertutup.
Dokternya cukup ramah, cantik, tidak mungkin ia tega menyakiti anak-anak. Seperti anak yang lain, aku dengan rela membiarkan tubuhku rebah di atas sebuah pembaringan. Bagian atasnya membuat kepalaku otomatis menengadah. Aku bisa melihat bayangan mama di langit-langit,
jangan banyak makan permen!  Sikat gigi dulu sebelum tidur! Lihat kan, tang-nya datang!
“Mama… mana tang-nya ma… mana ma…,” aku tersentak gelagapan. Sebuah alat serupa tang tengah mengkilap-kilapnya didepan mataku. Di mataku, dokter cantik itu tiba-tiba berubah jadi nenek sihir yang jahat. Ia yang memegang tangnya sambil melihat kearahku.
“Mama!!!” Teriakku keras.
Mama melihat kearahku, “Ayo pulang!” Aku celingukan kebingungan, kenapa kali ini mama yang mengajakku pulang? Apakah mama sadar kalau perempuan ini orang jahat? Atau…, “Kau mau pulang kan, ayo!”
“Giginya, gimana ma?” Tatapku penuh curiga. Sebenarnya aku tidak berniat mengingatkan mama, tapi sepertinya mama menyembunyikan sesuatu, tapi kalau memang mama benar-benar lupa, ah… sial sekali aku telah mengingatkannya.
“Kan sudah tadi, coba lihat di cermin,” aku tidak salah dengar? Mataku terbelalak. Di depan cermin, kubuka mulutku pelan. Huh… aku menghembuskan nafas lega. Aku tidak percaya!
“Gak sakit kan sayang?”
Aku terdiam. Sesekali memerhatikan barisan gigiku lagi yang telah bolong di bagian depan atasnya.
“Ma…,” kuremas kuat-kuat kerudung mama. Ia kupeluk erat.
“Kenapa sedih super hero mama?”
“Gigi ku kehilangan satu keluarganya, ma. Aku ompong. Apa aku seperti kakek-kakek sekarang? Uhuk-uhuk!!!”
Aku tidak mengerti, kenapa saat itu mama dan dokter cantik itu tertawa cekikikan. Tapi yang pasti, aku tidak lagi takut cabut gigi. Hanya saja, aku tetap tidak mau jadi macan ompong seperti ini. Ah, aku tidak mau makan permen lagi! Aku juga akan rajin sikat gigi!
Bak super hero, aku keluar dari ruangan itu. Senyumku merekah. Aku berjalan bangga sambil memperlihatkan gigi ompongku pada dunia. Hari itu, aku sudah membuat beberapa anak yang kegugupan di ruang tunggu menjadi lebih berani.

end

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB