Telur
Ceplok
by aprianti
Suara
kokok ayam dan siluet mentari mengetuk mataku di pagi buta. Aku terbangun dalam
resah, ku tatap diam-diam pagar yang dilalui Mas Bara dan anakku Tiara sore itu
dari balik jendela. Rumah ini jadi seakan tak berpenghuni lagi. Tak ada lagi
tawa Tiara, dan candaan Mas Bara yang kadang membuatku geli sendiri. Apa benar
kata Mas Bara, aku terlalu menuntut banyak pada Tiara. Bahwa ia masih
kanak-kanak yang butuh di manja. Tapi… bukankah dari dini semuanya bermula?
Kedisiplinan, kesempurnaan, kecerdasan, dan aku hanya ingin melihat anakku
tumbuh tanpa kekurangan. Ah, Mas Bara belum menyadarinya saja ku kira.
Aku
beranjak dari kamar, di luar, kudapati ruang tamu yang lengang, tanpa sesiapa.
Permainan Tiara yang masih berserakan di lantai ubin mengingatkanku bagaimana
dulu Tiara ku bentak hanya untuk cepat-cepat mengemasi mainan itu.
“Tiara,
bereskan mainan kamu sekarang! Jangan jadi anak yang berantakan!” Ia tertunduk
diam.
“Tiara!”
Suaraku meninggi, aku melototinya hingga ia benar-benar mau bergerak. “Mama gak
pernah mengajari kamu jadi anak lembek, yah. Mandirilah!” Tiara kecilku
merajuk, dan akulah mama yang paling ditakutinya.
Gorden
jendela ku genggam erat, meratapi sekian teguranku yang keliru. Memarahinya
ketika tangannya tak dicuci dengan baik, atau ketika aku menemukan noda di kaus
kakinya. Aku telah melakukan kesalahan besar. Ia masih polos dan tak tahu
apa-apa. Pulanglah nak, mama janji, mama akan jadi mama yang kamu sayang, dan
bukan seorang mama yang tega menghakimi mu, nak.
Aku
menghampiri meja makan yang hambar, di tempat ini aku menyadari kekuranganku
sebagai istri. Aku hanya mampu menghidangkan telur ceplok untuk keluargaku. Mas
Bara benar, hidup tidak seinstan telur ceplok. Aku harus belajar membuat meja
makan ini berselera. Belajar beradaptasi dengan Tiara, bukan sebaliknya.
Aku
rindu Mas…
“Aku
juga,” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing menyahut, aku berbalik.
“Mas
Bara, Tiara..,” kejutku. Mereka berdiri di belakangku. Aku bergegas mendekati
mereka, memeluk Tiara erat, menciumi wajahnya, dan kupeluk lagi hingga lega
rinduku.
“Mas,
aku fikir…”
“Sejauh-jauhnya
aku pergi, rumah ini adalah tempatku berpulang. Dan keluarga kita, adalah ruh yang menemukan jasadnya,” sela Mas Bara dengan
senyumannya, “Kamu tahu? Telor ceplokmu itu masih lebih enak dari masakan
mertua,” bisiknya.
The
End
0 komentar:
Posting Komentar