cerpen: terbit dalam antologi cerpen keluarga

Sabtu, 15 Agustus 2015 0 komentar
Telur Ceplok
by aprianti

Suara kokok ayam dan siluet mentari mengetuk mataku di pagi buta. Aku terbangun dalam resah, ku tatap diam-diam pagar yang dilalui Mas Bara dan anakku Tiara sore itu dari balik jendela. Rumah ini jadi seakan tak berpenghuni lagi. Tak ada lagi tawa Tiara, dan candaan Mas Bara yang kadang membuatku geli sendiri. Apa benar kata Mas Bara, aku terlalu menuntut banyak pada Tiara. Bahwa ia masih kanak-kanak yang butuh di manja. Tapi… bukankah dari dini semuanya bermula? Kedisiplinan, kesempurnaan, kecerdasan, dan aku hanya ingin melihat anakku tumbuh tanpa kekurangan. Ah, Mas Bara belum menyadarinya saja ku kira.
Aku beranjak dari kamar, di luar, kudapati ruang tamu yang lengang, tanpa sesiapa. Permainan Tiara yang masih berserakan di lantai ubin mengingatkanku bagaimana dulu Tiara ku bentak hanya untuk cepat-cepat mengemasi mainan itu.
“Tiara, bereskan mainan kamu sekarang! Jangan jadi anak yang berantakan!” Ia tertunduk diam.
“Tiara!” Suaraku meninggi, aku melototinya hingga ia benar-benar mau bergerak. “Mama gak pernah mengajari kamu jadi anak lembek, yah. Mandirilah!” Tiara kecilku merajuk, dan akulah mama yang paling ditakutinya.
Gorden jendela ku genggam erat, meratapi sekian teguranku yang keliru. Memarahinya ketika tangannya tak dicuci dengan baik, atau ketika aku menemukan noda di kaus kakinya. Aku telah melakukan kesalahan besar. Ia masih polos dan tak tahu apa-apa. Pulanglah nak, mama janji, mama akan jadi mama yang kamu sayang, dan bukan seorang mama yang tega menghakimi mu, nak.
Aku menghampiri meja makan yang hambar, di tempat ini aku menyadari kekuranganku sebagai istri. Aku hanya mampu menghidangkan telur ceplok untuk keluargaku. Mas Bara benar, hidup tidak seinstan telur ceplok. Aku harus belajar membuat meja makan ini berselera. Belajar beradaptasi dengan Tiara, bukan sebaliknya.
Aku rindu Mas…
“Aku juga,” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing menyahut, aku berbalik.
“Mas Bara, Tiara..,” kejutku. Mereka berdiri di belakangku. Aku bergegas mendekati mereka, memeluk Tiara erat, menciumi wajahnya, dan kupeluk lagi hingga lega rinduku.
“Mas, aku fikir…”
“Sejauh-jauhnya aku pergi, rumah ini adalah tempatku berpulang. Dan keluarga kita, adalah ruh  yang menemukan jasadnya,” sela Mas Bara dengan senyumannya, “Kamu tahu? Telor ceplokmu itu masih lebih enak dari masakan mertua,” bisiknya.

The End

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB