Apa kabar ramadhan
Apa kabar bulan yang penuh
perhitungan. Tentang makna detik yang berlalu, ataukah kebaikan sekecil zarrah
yang tak luput dari hitungan. Bak sebuah kompetisi sebulan, entah menamatkan
tiap juz Al-Qur’an, berlomba mengumpulkan langkah ke rumah Tuhan, berlomba
menyahut amin usai Al-fatihah, berpetualang di masjid-masjid yang tarawihnya
singkat, menemukan anak yatim untuk dijadikan teman, mencari masjid dengan
takjil yang berbeda, mengejar matahari ketika subuh tiba, menonton acara makan
di televisi, atau menikmati jajanan takjil yang berbaris rapih di sepanjang
jalan.
Apa kabar bulan penuh
pengampunan. Tentang dosa yang telah termakan usia ataukah yang masih belia.
Kukira Tuhan tak lagi memandang latarbelakang, bulan ini nan jadi pertanda
untuk tahu siapa yang paling banyak mengais pahala atau yang paling sering
menuntut Tuhan untuk sebuah pengampunan.
Aku mengenal bulan ini sebagai
tempat kembali. Ramadhan, selalu mengingatkan para perantau mengingat kampung
halamannya, juga umat yang terlalu jauh agar mendekat pada Tuhannya. Masjid-masjid mulai ramai kedatangan tamu,
apakah yang sering bersua atau yang baru menampakkan wajah, para imam selalu
kerepotan mengatur shaf yang mulai menebal kebelakang. Sedang sepanjang jalan
memadat, sesak, dipenuhi para pemudik yang terperangkap kerinduan. Entah
mengapa orang-orang mulai lebih pandai dari biasanya. Pahala yang dulu
dibiarkan menyia tanpa sesiapa jadi hal yang dipergunjingkan malaikat karena
telah jadi bahan rebutan manusia. Ramadhan, membuat arah gravitasi manusia
berubah, menekan dosa, dan ajang menebus rindu.
Apa kabar bulan yang tak payah
menampung doa dan kehendak, dimana padanyalah segala ditumpahkan. Ramadhan,
terlalu sempit dengan tiga puluh hari yang dimilikinya. Namun, adakah laut yang
melebihi luasnya ketika air mata umat Muhammad, doa-doanya, kehendaknya,
dosa-dosanya, ampunanNya, dihimpun dan ditampung? Tak ada sedikit pun dibiarkan
meluap, meski padanya gunung diruntuhkan, atau bintang-bintang dibolehkan berjatuhan
sekalian.
Apa kabar bulan pendidikan.
Yang mengajarkan ikhlas, sabar, tekun dan saling menyantuni lewat tingkah dan
perbuatan, bukan teori yang harus di hapalkan seperti di sekolah. Menahan hawa
nafsu, berarti menahan amarah dan telaten dalam bersabar. Aku lebih sering
menemukan senyuman dimana-mana, semuanya terasa ikhlas. Menahan dahaga dan tak
makan bahkan bila haus dan lapar mulai menyiksa. Sedang fajar dan adzan maghrib
mulai ditunggu-tunggui tibanya seperti menunggui sebuah tendangan penalti saja.
Karenanya, aku tidak lagi kesepian menunggui fajar, juga harus memberikan
separuhnya untuk dinikmati banyak umat. Memang begitulah semestinya.
Apa kabar, bulan yang penuh
kabar gembira. Entah mengapa di sela terik matahari, hujan turun. Kurasa,
langit pun tak mau melepaskan. Baru saja rasanya kemarin kita bersua, lalu kau
menjadi trending topic umat sedunia, sekarang kau mau pergi secepat senja?
Adakah engkau menelan waktu terlalu banyak? Sampai terhujat malam, karena menyicipi
bulan terlalu cepat. Jangan begitu, senja tak pernah mau aku yang menunggui
saja, rumah Tuhan tak pernah inginkan kesunyian, dan para pengepul dosa masih
ingin mengais pahala. Apakah harus membujuk Tuhan, atau membius bulan, agar kau
bisa tinggal lebih lama?
Bulan mendengus,
riuh malam tenggelam,
matahari bergerak lebih keatas.
Fajar terbentang di kaki
langit,
ada gema di sela-sela kumandang
takbir,
“Kabarku, adalah se-bagaimana
kabar imanmu(?)-”
Ramadhan, di kaki gunung
latimojong… 17 Juli 2015… aku melepas ramadhan dengan ikhlas, semoga selamat
sampai tujuan dan tetap utuh hingga kepangkuan Tuhan. Katakan pada-Nya, aku
tidak sungguh-sungguh hendak membius bulan. Datanglah kembali di tahun depan.
0 komentar:
Posting Komentar