cerpen

Sabtu, 18 Juli 2015 0 komentar
menghujat MAWAR

Entah karena alasan apapun, aku selalu berlari kecil ketika berlalu di depan sebuah toko sepulang kerja. Dan melewatinya adalah satu-satunya pilihan yang harus kuambil agar sampai ketempat kerja dengan cepat. Tidak ada yang berbeda dengan toko-toko yang juga berjejer rapih disampingnya. Hanya saja, bagiku toko itu menjual benda keramat, yang jika melihatnya lagi-lagi aku terlarut dalam kesedihan.
Pernah sekali aku memberanikan diri mampir kesana, sebelum seorang teman kantor memberitahukan bahwa aku harus melawan ketakutan. Aku mencoba. Beberapa jam kuhabiskan dengan mudahnya hanya untuk memutuskan untuk benar-benar yakin memasukinya.
Tanganku cukup bergetar, memegang gagang pintu toko yang rasanya hampir saja membekukan seisi nadi. Ku buka pelan-pelan, lalu seorang anak dari dalam toko itu berlari kearahku sontak. Jelas saja aku tersentak dan berteriak. Seorang ibu yang mengaku neneknya datang, ia mengataiku tanpa jeda, difikirnya aku akan melukai cucunya. Meski kemudian anak itu menitipkanku setangkai bunga mawar.
Dari sana, aku merasa menjamahi masa lalu dan masa depan secara bersamaan. Bunga mawar yang itu masih kusimpan.
“Bunga?” Keningku mengerut, beberapa hari ini setangkai bunga mawar sangat akrab dengan mataku. Seseorang penggemar, katanya. Begitu ucap teman-temanku yang menerima langsung dari si pengirim.
“Dia…,” seketika bumi terasa terhenti sejenak, ketika seorang yang sama dengan yang kulihat kemarin-kemarin melangkahkan kakinya kedalam toko itu. Toko bunga di depan kantorku. Tapi aku tak melihatnya keluar hingga kemudian kudapati setangkai mawar di meja kerjaku. Katanya bunga terakhir, dan aku dilamar dengan sangat romantis. Meja kerjaku dan jam dengan detaknya adalah saksi bisunya. Lelaki itu melingkarkan cincin di jari manisku. Lelaki itu, Irwan, suamiku sekarang.
Sudah lama, sepeninggal Irwan, aku tak henti menghujat bunga mawar, melarikan diri jauh-jauh darinya. Dan ibu Irwan, mertuaku itu tak henti menghujatku. Ia melarikan anakku jauh dariku. Bunga mawar itu adalah sebabnya.
Aku masih ingat betul, hari itu, hari ulangtahunku, dan entah dengan alasan apa, ajal menjemput Irwan tanpa aba-aba. Ia masih memegang bunga mawar di tangannya. Ketika aku mendapatinya sudah tak bernyawa di depan toko bunga. Kemudian ada ucapan selamat ulang tahun yang terselip.
Hari ini ulangtahunku,
“Mas… aku masih menyimpan setangkai mawar dari anak kita,” desahku lirih.


0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB