menghujat MAWAR
Entah karena alasan apapun, aku
selalu berlari kecil ketika berlalu di depan sebuah toko sepulang kerja. Dan
melewatinya adalah satu-satunya pilihan yang harus kuambil agar sampai ketempat
kerja dengan cepat. Tidak ada yang berbeda dengan toko-toko yang juga berjejer
rapih disampingnya. Hanya saja, bagiku toko itu menjual benda keramat, yang
jika melihatnya lagi-lagi aku terlarut dalam kesedihan.
Pernah sekali aku memberanikan
diri mampir kesana, sebelum seorang teman kantor memberitahukan bahwa aku harus
melawan ketakutan. Aku mencoba. Beberapa jam kuhabiskan dengan mudahnya hanya
untuk memutuskan untuk benar-benar yakin memasukinya.
Tanganku cukup bergetar, memegang
gagang pintu toko yang rasanya hampir saja membekukan seisi nadi. Ku buka
pelan-pelan, lalu seorang anak dari dalam toko itu berlari kearahku sontak.
Jelas saja aku tersentak dan berteriak. Seorang ibu yang mengaku neneknya
datang, ia mengataiku tanpa jeda, difikirnya aku akan melukai cucunya. Meski
kemudian anak itu menitipkanku setangkai bunga mawar.
Dari sana, aku merasa menjamahi
masa lalu dan masa depan secara bersamaan. Bunga mawar yang itu masih kusimpan.
“Bunga?” Keningku mengerut,
beberapa hari ini setangkai bunga mawar sangat akrab dengan mataku. Seseorang
penggemar, katanya. Begitu ucap teman-temanku yang menerima langsung dari si
pengirim.
“Dia…,” seketika bumi terasa
terhenti sejenak, ketika seorang yang sama dengan yang kulihat kemarin-kemarin
melangkahkan kakinya kedalam toko itu. Toko bunga di depan kantorku. Tapi aku
tak melihatnya keluar hingga kemudian kudapati setangkai mawar di meja kerjaku.
Katanya bunga terakhir, dan aku dilamar dengan sangat romantis. Meja kerjaku
dan jam dengan detaknya adalah saksi bisunya. Lelaki itu melingkarkan cincin di
jari manisku. Lelaki itu, Irwan, suamiku sekarang.
Sudah lama, sepeninggal Irwan,
aku tak henti menghujat bunga mawar, melarikan diri jauh-jauh darinya. Dan ibu
Irwan, mertuaku itu tak henti menghujatku. Ia melarikan anakku jauh dariku. Bunga
mawar itu adalah sebabnya.
Aku masih ingat betul, hari itu,
hari ulangtahunku, dan entah dengan alasan apa, ajal menjemput Irwan tanpa
aba-aba. Ia masih memegang bunga mawar di tangannya. Ketika aku mendapatinya
sudah tak bernyawa di depan toko bunga. Kemudian ada ucapan selamat ulang tahun
yang terselip.
Hari ini ulangtahunku,
“Mas… aku masih menyimpan
setangkai mawar dari anak kita,” desahku lirih.
0 komentar:
Posting Komentar