Esai kesasar

Sabtu, 18 Juli 2015 0 komentar
Refleksi Bhinneka Tunggal Ika

Siapa yang tak mengenal Indonesia? Adalah sebuah negara dengan ciri kepulauan-kepulauan yang melekat padanya. Sejak dulu, saat ia di sapa nusantara hingga di kenal sebagai Indonesia seperti sekarang. Negara berkembang yang kini mengatasnamakan persatuan bangsa sebagai salah satu aspek fundamental dalam kenegaraan.
17.508 merupakan angka yang cukup fantastik yang dimiliki sebuah negara untuk pulau-pulau yang ada padanya. Namun bagi Indonesia, angka itu telah menjadi hal yang lumrah di telinga masyarakat dunia. Didalamnya, tentu tak monoton. Ada banyak suku, budaya, bahasa, agama dan kulit beragam rupa yang hidup dan tumbuh.
Terbayangkan, bagaimana tiap-tiap mereka berderai semangat menjaga simpul yang telah terikat kuat antara mereka agar tak renggang pun tak putus? Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam diri seseorang ada beribu-ribu pendapat, beraneka keinginan, dan hal-hal individual lainnya. Sebuah forum yang beranggotakan 10 hingga 20 orang saja, tak pelik akan perbedaan pendapat sebab aspek yang tak sama, dan tujuan yang tak seragam. Keributan? Anda akan berfikir seperti itu. Bagaimana dengan Indonesia, dengan triliunan kepala yang hidup dalam satu negara. Konflik? Yah, kemungkinan besar yang akan menghantui tiap-tiap yang menjadi kepala negaranya.
Sekilas mengembalikan memoar kelam Indonesia dalam menyikapi perbedaan yang tak lagi bisa terjamah logika. Yang saat itu, konflik di Kalimantan barat, Kalimantan tengah, Ambon, Maluku, dan Poso, membara, membakar semangat mereka yang menggebu menjadi pemberontak, brutal dan liar, tak lagi memandang jelas ketika segala egoisme berdiri di atas nama perbedaan. Perbedaan sebagai pemicu konflik adalah fakta yang harus di telan paksa oleh warga Negara Indonesia. Logika, memang tak selamanya bisa sejajar dengan rasa sebab kompetisi adalah hal tabu yang mesti jadi bahan perhitungan dalam hal pengakuan, egoisme, dan kekuasaan.
 Lantas, pada faktanya konflik-konflik tersebut malah melahirkan pemikir-pemikir bijak, menemukan solusi dan hidup berdamai lagi. Lagi-lagi, nyatanya konflik itu, adalah sarana belajar, perbaikan ke depan, dan juga ujian. Sebagaimana pepatah kuno berkilah, semakin tinggi pohon, maka akan semakin kencang angin menerpanya. Begitu Indonesia, Tuhan tahu negara mana yang akan cukup kuat, cukup cerdas, cukup toleran, bila di uji lagi dan lagi. Bukankah pelangi hanya akan ada setelah hujan?
Lagi, nyatanya bahwa lebih banyak perdamaian di balik sekelumit konflik-konflik itu. Lebih banyak perbedaan, lebih banyak tahu, pengalaman dan ide cemerlang, serta lebih banyak yang berpegang tangan membangun bangsa. Sekalipun sulit disatukan, tapi tak ada yang benar-benar buruk dalam perbedaan, konflik sekalipun adalah pelajaran. Nada, butuh berbeda untuk terdengar indah, sedang pelangi butuh banyak warna untuk terlihat memesona, dan Indonesia dengan keaneragaman yang menjadikannya berestetika dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Maka kenapa mesti takut berbeda? Kita hanya akan menjadi satu dengan perbedaan, bukan? Tanpa perbedaan adalah sama. Dan menjadi sama, tak selalu mencipta warna. Oleh karena itu, saya memaparkan beberapa jalan yang harusnya tetap di pegang teguh agar persatuan tak runtuh:
a.       Mencintai tanah air. Rasa memiliki akan mengantarkan anda pada sikap rela berkorban.
b.      Bersikap toleran.
c.       Membina persatuan dan kesatuan

Nah, dengan menerapkannya, Anda kini memiliki gengggaman kuat pada persatuan Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB