Mengenal Lebih Dekat ‘PPOK’

Kamis, 23 Juli 2015 0 komentar

Awalnya kufikir itu gejala asma. Pasien itu, selalu mengadu karena sesak didadanya. Untuk aktivitas yang berat, ia tak lagi bisa melakukannya intens. Katanya, Nafasnya terlalu pendek dari biasa, udara yang berkeliaran sulit sekali dihirup. Aku menyarankan padanya meminum salbutamol tablet. Telfonnya kututup.

Dari jarak yang cukup jauh, kutangkap baik mengik itu dengan gendang telingaku. Aku bisa merasakan bronkioli yang mulai menyempit dan alveoli yang tengah megap-megap kekurangan oksigen. Paru itu semakin mengerut dan kurus, yah, pemiliknya memang sudah menua.

Aku tahu betul, salbutamol sudah berperan lama sebagai bronkodilator. Ia bekerja dengan baik merelaksasi otot polos, sehingga udara untuk pasien asma jauh dari kata keterbatasan. Kukira semuanya akan berjalan baik, tapi salbutamol tablet saja ternyata tidak cukup. Pasien itu masih mengeluh, ia mengadu dengan gejala yang bertambah. Batuk berdahak, begitu katanya. Aku menyarankan menggunakan GG (Gliceril Guacolat) tablet. Katanya, waktu kepuskesmas pun ia diberikan obat serupa. Telfonnya ku tutup.

Aku masih sementara menjalani pendidikan. Kesempatan bertemu dengan pasien pun hanya dua kali setahun. Tapi jarak tak pernah membuatku lengah untuk memantau si pasien. Cukup lama juga hingga ia tak memberikan keluhan baru. Cukup lega rasanya. Hanya saja, tiap kutanyai ia selalu menjawab sama, baik-baik saja. Apa ada sebuah rahasia?

Menjelang semester tujuh ini, aku mengunjungi si pasien. Tanpa kuduga, wajahnya benar-benar telah sangat menua. Nafasnya terdengar khas, pendek dan ditiap-tipanya ada keluhan. Tiap anak pasti tahu  artinya apa. Udara tak hanya dirasakan terbatas, tapi juga dada yang kelihatan sakit saat menghirupnya. Aku tak tahan bercerita banyak dengannya, secret mucus membuat suaranya tak bisa keluar dengan sempurna. Kertas ronsen itu jelas sekali, sebelah kiri parunya sudah menghitam.

Bisa kubayangkan dibagian itu penuh kabut. Oksigen yang masuk pasti tak akan bisa melihat jalannya dengan baik. Disana mungkin sedang hujan deras-derasnya, tak ada lagi tempat yang nyaman untuk berteduh. Paru itu berkabut, Asap rokok yang dulu, telah memenuhi tiap-tiap rongga, membuat sesak seisi paru.

Kecurigaanku terbukti.

Asma yang timbul tidak terlalu intens, tapi secret mucus itu rasanya terlalu berlebihan. Jika tak salah diagnosa, hal semacam itu disapa PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik). Lewat sebuh buku aku mepelajarinya cermat. Ciri-ciri pengidap PPOK sama persis dengan gejala pasien itu. Diantaranya, kenaikan volume sputum, dada sesak, memerlukan kenaikan kebutuhan akan bronkodilator, lemas, dan aktivitas semakin berkurang. Berbeda dengan asma, asma tidak menimbulkan peningkatan eksaserbasi yang berarti, tapi PPOK bisa saja mempunyai gejala berupa asma. Dalam tinjauan lebih jauh, mereka berbeda dalam hal berikut ini,


Pada pasien ini, Kelihatannya eksaserbasi yang dialami sudah cukup akut dan tipenya mungkin sudah berubah menjadi tipe sedang. Akh, aku tak bisa memastikannya jelas. Sebelumnya pasien harus menjalani tes laboratorium spirometri untuk melihat nilai FEVnya masuk kategori mana. Dengan begitu bisa lebih mudah menentukan terapi yang cocok seperti apa.


Sekali kami mengunjungi dokter. Seorang pasien PPOK harus dengan cepat ditangani dengan inhaler. Tapi sayangnya semua tak seperti kenyataan, entah sidokter yang keras kepala, atau aku kah yang masih perlu banyak pengalaman. Lagi-lagi ia memberikan obat serupa, ambroksol (gol ekspektoran), salbutamol tablet (gol. B2 agonist), padahal sudah kubilang bahwa keduanya sama sekali tidak mempan. Ia menambahkan deksametason (gol. Kortikosteroid), amoksisillin (gol. Antibiotic) dan satu lagi obat paten yang didalamnya ada dua zat aktif, GG (ekspektoran) dan juga dextromethorphan (antitusif). Apakah dokter itu tidak tahu? Dan sialnya aku baru saja tahu sepulang dari sana, bahwa ambroksol itu berinteraksi dengan gol. Kortikosteroid dan antibiotic? Tidakkah ia tahu, bahwa pasien tidak mengalami demam apakah tandanya ada infeksi untuk pemberian anti biotik? Tidakkah ia tahu, bahwa antitusif itu akan menekan pusat batuk hingga bagaimana caranya semua dahaknya itu keluar jika tidak dengan batuk? Apakah ia tahu? Kalau tubuh berusia 63 tahun itu tak bisa menyimpan terlalu banyak zat kimia. Apakah difikirnya, tubuh itu gudang obat? Sudah kusarankan, beri saja inhaler… tapi katanya inhaler bisa membuat ketergantungan, juga nanti parah banget baru bisa di beri. Inhaler dengan zat aktif apa yang bisa membuat ketergantungan? Apkah tablet tidak demikian, bukankah isinya sama saja, hanya rutenya saja yang berbeda.

Apakah harus naik haji dulu baru bisa dipercaya? Ataukah bergelar dokter dulu? Uh… entah mengapa, dokter buatku bukan lagi seorang penolong, ia seperti seorang pencabut nyawa yang menyuapi pasiennya zat kimia dengan mudahnya.

Beberapa dari nonpharmocology sudah lama di jalani. Yaitu penghentian merokok. Itu adalah tahap awal yang mesti dilakukan, karena jika tak demikian, terapi apapun tak akan mungkin bisa menyembuhkan. Untuk imunisasi influenza dilakukan agar tak terjadi flu kemudian. Sebab, flu akan memicu eksaserbasi pada pasien PPOK. Tidak hanya itu, penggunaan imunisasi pneumococci juga semestinya dilakukan. Sebab, PPOK bisa saja memungkinkan timbulnya penyakit baru, seperti pneumonia jika ada invasi dari bakteri tersebut. Yang terakhir, dengan terapi oksigen.

Jika dirasakan tak cukup membantu, mari menggunakan terapi farmakologi. Terapi ini untuk mengontrol gejala, mereduksi komplikasi, termasuk frekuensi dan keseringan terjadinya eksaserbasi, keseluruhannya untuk meningkatkan status kesehatan pasien, juga toleransi pada aktivitas pasien PPOK. Ada beberapa klasifikasi untuk jenis terapi ini, diantaranya bronkodilator, kortikosteroid, AAT dan terapi penunjang. Tahapan penggunaan masing-masing terapi bisa dilihat di algoritma berikut,

Bronkodilator untuk menangani penyakit COPD (PPOK) yaitu β2 agonis, antikolinergik, dan metylxantin.

β2 AGONIS
Short acting β2 AGONIS
Mekanisme Kerja: Kelas ini sangat ketat dan juga selktiv terutama pada durasi kerjanya. Β2 agonis menyebabkan terjadinya bronkodilatasi dengan menstimulasi enzim adenil ciclase untuk meningkatkan siklus AMP. Sebab siklik AMP berperan dalam relaksasi otot polos pada bronkus, sehingga mengakibatkan brokodilatasi.
Contoh: Albuterol, levalbuterol, dan pirbuterol. Pada saat ini albuterol sering digunakan sebagai terapi dalam bentuk inhaler.
Short Acting Antikolinergik
Mekanisme Kerja: menghambat reseptor kolinergik di otot halus pada bronkus. Hal ini menyebabkan terbloknya acetilkolin sehingga menurunkan siklus GMP, yang pada kondisi normal bertindak dalam kontraksi otot bronkus.
Contoh: Ipratropium dan atropine. Ipratropium lebih sering digunakan dengan durasi 4-6 jam. Digunakan 1-2 semprotan 4 kali sehari.

LONG ACTING BROCODILATOR

Long acting brocodilator, digunakan untuk terapi short acting yang tidak lagi adekuat demi meningkatkan kualitas hidup pasien.
 Long Acting Inhaled Β2 Agonist: farmeterol dan salmeterol
Long Acting Inhaled Antikolinergik: Tiotropium bromida

Kurasa cukup demikian, masih banyak terapi lainnya sebenarnya. Jika terjadi demam, berarti perlu dicurigai ada invasi mikroba. Penggunaan anti biotik cukup jitu untuk menghalaunya berkembang. Jika saja pemeriksaan laboratorium mengindikasikan adanya peningkatan sel darah putih (WBC) bisa menggunakan kombinasi dengan kortikosteroid inhaler.

Tapi, terapi itu bukan apa-apa, yang paling berpengaruh adalah kemauan untuk sembuh. Ingat tidak, anda adalah apa yang anda fikirkan. Jadi jika ingin sembuh, berfikirlah sembuh sebanyak mungkin. Anda tahu? Pasien itu lebih dari sekedar ingin sembuh, katanya anaknya masih perlu biaya untuk studinya. Sepertinya dia orang tua yang baik. Masih sempat ia memikirkan anaknya disaat ia bahkan terbata menghela nafas. Entah mengapa aku teringat Muhammad, bukankah dia juga seperti itu kepada umatnya? Ah… apa semua orang tua akan berlaku demikian? Atau anak yang di cintainya saja yang diperlakukan demikian. Hmmm… bukankah anaknya akan sangat bangga, diberkahi orang tua seperti beliau. Ia pasti berjanji akan banyak-banyak berdoa kepada Tuhan agar suatu ketika nanti diberikan satu tempat untuk mereka duduk bersama di surga. Juga akan dengan sekuat tenaga membuat mereka bangga, entah dengan pahala juga dengan urusan dunia. Ah… suatu hari, orangtuanya pasti akan sangat bangga.

Regards
Patient’s daughter
“Get well soon, father”


0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB