Awalnya kufikir itu gejala asma.
Pasien itu, selalu mengadu karena sesak didadanya. Untuk aktivitas yang berat,
ia tak lagi bisa melakukannya intens. Katanya, Nafasnya terlalu pendek dari
biasa, udara yang berkeliaran sulit sekali dihirup. Aku menyarankan padanya
meminum salbutamol tablet. Telfonnya kututup.
Dari jarak yang cukup jauh,
kutangkap baik mengik itu dengan gendang telingaku. Aku bisa merasakan
bronkioli yang mulai menyempit dan alveoli yang tengah megap-megap kekurangan
oksigen. Paru itu semakin mengerut dan kurus, yah, pemiliknya memang sudah
menua.
Aku tahu betul, salbutamol sudah
berperan lama sebagai bronkodilator. Ia bekerja dengan baik merelaksasi otot
polos, sehingga udara untuk pasien asma jauh dari kata keterbatasan. Kukira
semuanya akan berjalan baik, tapi salbutamol tablet saja ternyata tidak cukup.
Pasien itu masih mengeluh, ia mengadu dengan gejala yang bertambah. Batuk
berdahak, begitu katanya. Aku menyarankan menggunakan GG (Gliceril Guacolat)
tablet. Katanya, waktu kepuskesmas pun ia diberikan obat serupa. Telfonnya ku
tutup.
Aku masih sementara menjalani
pendidikan. Kesempatan bertemu dengan pasien pun hanya dua kali setahun. Tapi
jarak tak pernah membuatku lengah untuk memantau si pasien. Cukup lama juga
hingga ia tak memberikan keluhan baru. Cukup lega rasanya. Hanya saja, tiap
kutanyai ia selalu menjawab sama, baik-baik saja. Apa ada sebuah rahasia?
Menjelang semester tujuh ini, aku
mengunjungi si pasien. Tanpa kuduga, wajahnya benar-benar telah sangat menua.
Nafasnya terdengar khas, pendek dan ditiap-tipanya ada keluhan. Tiap anak pasti
tahu artinya apa. Udara tak hanya
dirasakan terbatas, tapi juga dada yang kelihatan sakit saat menghirupnya. Aku
tak tahan bercerita banyak dengannya, secret mucus membuat suaranya tak bisa
keluar dengan sempurna. Kertas ronsen itu jelas sekali, sebelah kiri parunya
sudah menghitam.
Bisa kubayangkan dibagian itu
penuh kabut. Oksigen yang masuk pasti tak akan bisa melihat jalannya dengan
baik. Disana mungkin sedang hujan deras-derasnya, tak ada lagi tempat yang
nyaman untuk berteduh. Paru itu berkabut, Asap rokok yang dulu, telah memenuhi
tiap-tiap rongga, membuat sesak seisi paru.
Kecurigaanku terbukti.
Asma yang timbul tidak terlalu
intens, tapi secret mucus itu rasanya terlalu berlebihan. Jika tak salah
diagnosa, hal semacam itu disapa PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik). Lewat
sebuh buku aku mepelajarinya cermat. Ciri-ciri pengidap PPOK sama persis dengan
gejala pasien itu. Diantaranya, kenaikan volume sputum, dada sesak, memerlukan
kenaikan kebutuhan akan bronkodilator, lemas, dan aktivitas semakin berkurang. Berbeda
dengan asma, asma tidak menimbulkan peningkatan eksaserbasi yang berarti, tapi
PPOK bisa saja mempunyai gejala berupa asma. Dalam tinjauan lebih jauh, mereka
berbeda dalam hal berikut ini,
Pada pasien ini, Kelihatannya
eksaserbasi yang dialami sudah cukup akut dan tipenya mungkin sudah berubah
menjadi tipe sedang. Akh, aku tak bisa memastikannya jelas. Sebelumnya pasien
harus menjalani tes laboratorium spirometri untuk melihat nilai FEVnya masuk
kategori mana. Dengan begitu bisa lebih mudah menentukan terapi yang cocok
seperti apa.
Sekali kami mengunjungi dokter. Seorang
pasien PPOK harus dengan cepat ditangani dengan inhaler. Tapi sayangnya semua
tak seperti kenyataan, entah sidokter yang keras kepala, atau aku kah yang masih
perlu banyak pengalaman. Lagi-lagi ia memberikan obat serupa, ambroksol (gol
ekspektoran), salbutamol tablet (gol. B2 agonist), padahal sudah kubilang bahwa
keduanya sama sekali tidak mempan. Ia menambahkan deksametason (gol. Kortikosteroid),
amoksisillin (gol. Antibiotic) dan satu lagi obat paten yang didalamnya ada dua
zat aktif, GG (ekspektoran) dan juga dextromethorphan (antitusif). Apakah
dokter itu tidak tahu? Dan sialnya aku baru saja tahu sepulang dari sana, bahwa
ambroksol itu berinteraksi dengan gol. Kortikosteroid dan antibiotic? Tidakkah
ia tahu, bahwa pasien tidak mengalami demam apakah tandanya ada infeksi untuk
pemberian anti biotik? Tidakkah ia tahu, bahwa antitusif itu akan menekan pusat
batuk hingga bagaimana caranya semua dahaknya itu keluar jika tidak dengan
batuk? Apakah ia tahu? Kalau tubuh berusia 63 tahun itu tak bisa menyimpan
terlalu banyak zat kimia. Apakah difikirnya, tubuh itu gudang obat? Sudah
kusarankan, beri saja inhaler… tapi katanya inhaler bisa membuat ketergantungan,
juga nanti parah banget baru bisa di beri. Inhaler dengan zat aktif apa yang
bisa membuat ketergantungan? Apkah tablet tidak demikian, bukankah isinya sama
saja, hanya rutenya saja yang berbeda.
Apakah harus naik haji dulu baru
bisa dipercaya? Ataukah bergelar dokter dulu? Uh… entah mengapa, dokter buatku bukan
lagi seorang penolong, ia seperti seorang pencabut nyawa yang menyuapi
pasiennya zat kimia dengan mudahnya.
Beberapa dari nonpharmocology
sudah lama di jalani. Yaitu penghentian merokok. Itu adalah tahap awal yang
mesti dilakukan, karena jika tak demikian, terapi apapun tak akan mungkin bisa
menyembuhkan. Untuk imunisasi influenza dilakukan agar tak terjadi flu
kemudian. Sebab, flu akan memicu eksaserbasi pada pasien PPOK. Tidak hanya itu,
penggunaan imunisasi pneumococci juga semestinya dilakukan. Sebab, PPOK bisa
saja memungkinkan timbulnya penyakit baru, seperti pneumonia jika ada invasi
dari bakteri tersebut. Yang terakhir, dengan terapi oksigen.
Jika dirasakan tak cukup
membantu, mari menggunakan terapi farmakologi. Terapi ini untuk mengontrol
gejala, mereduksi komplikasi, termasuk frekuensi dan keseringan terjadinya
eksaserbasi, keseluruhannya untuk meningkatkan status kesehatan pasien, juga
toleransi pada aktivitas pasien PPOK. Ada beberapa klasifikasi untuk jenis
terapi ini, diantaranya bronkodilator, kortikosteroid, AAT dan terapi
penunjang. Tahapan penggunaan masing-masing terapi bisa dilihat di algoritma
berikut,
Bronkodilator untuk menangani
penyakit COPD (PPOK) yaitu β2 agonis, antikolinergik, dan
metylxantin.
β2 AGONIS
Short acting β2
AGONIS
Mekanisme Kerja: Kelas ini sangat
ketat dan juga selktiv terutama pada durasi kerjanya. Β2 agonis menyebabkan
terjadinya bronkodilatasi dengan menstimulasi enzim adenil ciclase untuk
meningkatkan siklus AMP. Sebab siklik AMP berperan dalam relaksasi otot polos
pada bronkus, sehingga mengakibatkan brokodilatasi.
Contoh: Albuterol, levalbuterol,
dan pirbuterol. Pada saat ini albuterol sering digunakan sebagai terapi dalam
bentuk inhaler.
Short Acting Antikolinergik
Mekanisme Kerja: menghambat reseptor
kolinergik di otot halus pada bronkus. Hal ini menyebabkan terbloknya
acetilkolin sehingga menurunkan siklus GMP, yang pada kondisi normal bertindak
dalam kontraksi otot bronkus.
Contoh: Ipratropium dan atropine.
Ipratropium lebih sering digunakan dengan durasi 4-6 jam. Digunakan 1-2
semprotan 4 kali sehari.
LONG ACTING BROCODILATOR
Long acting brocodilator, digunakan
untuk terapi short acting yang tidak lagi adekuat demi meningkatkan kualitas
hidup pasien.
Long Acting Inhaled Β2 Agonist: farmeterol dan
salmeterol
Long Acting Inhaled Antikolinergik:
Tiotropium bromida
Kurasa cukup demikian, masih
banyak terapi lainnya sebenarnya. Jika terjadi demam, berarti perlu dicurigai
ada invasi mikroba. Penggunaan anti biotik cukup jitu untuk menghalaunya
berkembang. Jika saja pemeriksaan laboratorium mengindikasikan adanya
peningkatan sel darah putih (WBC) bisa menggunakan kombinasi dengan
kortikosteroid inhaler.
Tapi, terapi itu bukan apa-apa,
yang paling berpengaruh adalah kemauan untuk sembuh. Ingat tidak, anda adalah
apa yang anda fikirkan. Jadi jika ingin sembuh, berfikirlah sembuh sebanyak
mungkin. Anda tahu? Pasien itu lebih dari sekedar ingin sembuh, katanya anaknya
masih perlu biaya untuk studinya. Sepertinya dia orang tua yang baik. Masih
sempat ia memikirkan anaknya disaat ia bahkan terbata menghela nafas. Entah
mengapa aku teringat Muhammad, bukankah dia juga seperti itu kepada umatnya?
Ah… apa semua orang tua akan berlaku demikian? Atau anak yang di cintainya saja
yang diperlakukan demikian. Hmmm… bukankah anaknya akan sangat bangga,
diberkahi orang tua seperti beliau. Ia pasti berjanji akan banyak-banyak berdoa
kepada Tuhan agar suatu ketika nanti diberikan satu tempat untuk mereka duduk
bersama di surga. Juga akan dengan sekuat tenaga membuat mereka bangga, entah
dengan pahala juga dengan urusan dunia. Ah… suatu hari, orangtuanya pasti akan
sangat bangga.
Regards
Patient’s daughter
“Get well soon, father”
0 komentar:
Posting Komentar