cerpen: Ruang tunggu

Selasa, 04 Agustus 2015 0 komentar


Oleh Aprianti
Pagi ini mentari yang membelai begitu terik. Seorang perempuan dengan rambut sebahu tetap melangkahkan kakinya tegas dari ujung jalan. Terburu-buru.
“Uh… akhirnya sampai juga,” katanya setelah menghela nafas cukup panjang. Kakinya dengan ringan memasuki sebuah ruangan yang sesak dengan orang-orang yang mengantri entah dari sepagi apa. Perempuan remaja itu masih terengah ketika ia menanyai seorang pemuda di sampingnya dengan berbisik, “Mas, antrian nomor berapa sekarang?”
“55…,” jawab pemuda itu singkat. Sontak, mata perempuan itu terbelalak, ia hampir menahan nafas sekian menit, begitu dilihatnya kembali nomor antrian yang ada di tangannya, 150!
Ia mengambil tempat duduk yang masih kosong di samping pemuda itu. Meletakkan tas samping di atas pahanya, lalu bersandar di punggung kursi senyaman mungkin. Sesekali, matanya melirik ke arah wajah pemuda disampingnya yang menunduk sedari tadi, hidung mancungnya dengan baik menopang matanya yang sipit. Tampan. Topi yang dikenakannya cukup lihai menyembunyikan sorot matanya. Apa dia tertidur? perempuan itu masih mengintai, ketika si pemuda tanpa aba-aba menoleh ke arahnya.
Ah, tertangkap basah! Gerutu perempuan itu pelan. Ia tertunduk dalam-dalam.
***
“Sudah baikan, Rum?”
Rumi tak menggubris, hingga terdengar suara pintu di tutup kembali. Ia cukup tahu bahwa dia bukan anak kecil lagi yang ingin kepalanya di elus mama. Biar di beri tahu pun, mamanya juga tak bisa berbuat apa-apa. Obat penghilang rasa sakit tak juga mempan setelah berkali-kali diminumnya. Ia masih tetap pada posisi yang sama. Namun, sepreinya sudah tak lagi tepat di tempat semula.
Lagi-lagi ruang tunggu itu membayang di pelupuk matanya, pemuda itu…
“Anda sudah lama disini?” Rumi memulai. Cukup lama juga ia terdiam, hingga ia mendapat sebuah anggukan kecil. Lelaki itu cukup dingin, begitu fikirnya, “Antriannya nomor berapa?” tidak se-lama tadi, pemuda itu kini cukup cepat menunjukkan nomor antrian di tangannya pada Rumi. 120!
Rumi tidak tahu entah akan melakukan apa, ruang tunggu itu cukup membosankan. Cukup riuh memang, tapi tak ada yang sama sekali mengajaknya memecah rasa bosan. Pemuda itu sepertinya enggan bercerita dengannya, “Siapa sih yang suka menunggu. Uh… kenapa semua orang ini betah sekali di ruangan ini. Menurutku, menunggu itu hal yang paling membosankan. Aku benci! Aku benci! Ben…” Ia terdiam, tak disangka gerutunya memancing tatapan mata seisi ruangan. Pipinya yang bengkak itu dirasakan mulai memanas. Pemuda itu juga memerhatikannya.
“Uhhh…” Rumi menghembuskan nafas dalam-dalam. Ia tak pernah membayangkan akan kembali ke ruangan itu lagi. Bertemu dengan orang-orang asing yang dingin.  Juga menunggu di tempat yang cukup bising.
Setiap hari, ruangan itu memang tak pernah sepi. Selalu saja ada penghuni yang mengganti penghuni lainnya yang pergi. Kursi-kursi yang berjejer rapi selalu terisi, halamannya bahkan sama sekali tak bisa dilewati. Rumi mengeluh pelan, seprei yang dipegangnya kuat-kuat cukup menenangkan dirinya untuk tidak berteriak. Beberapa hari ini ia merasakan sakit yang sama, bahkan ia sampai absen masuk sekolah.
Ah, pantas saja, banyak orang yang tidak bisa berdamai dengan penyakit ini!
***
Rumi tersentak, sebuah pesan masuk membuat hp-nya bunyi tiba-tiba.
“Nomor antrian mu sudah hampir sampai!” Pemuda itu…
Untungnya, Rumi meninggalkan nomor hapenya pada pemuda tadi. Jadinya, ia tak perlu menunggu di ruangan tunggu itu berlama-lama. Cepat-cepat Rumi beranjak dari tempat tidurnya. Ia bergegas pergi dari sana setelah mandi, keramas, pakai parfum, dan berdandan. Kesan bertemu dengan pemuda itu lagi juga tak ingin disiakan.
Di depan rumah, ia menunggui ojek yang lewat agar tak bekeringat sesampai disana. Tempat praktek dokter gigi itu memang cukup jauh dari rumahnya. “Ojek!” Serunya. Ia menghembuskan nafas lega, sambil sesekali melirik jam di tangannya. Ruang tunggu itu, semoga ini yang terakhir. Tekadnya.
Setibanya, dengan segera ia berlari menuju ke ruangan itu. Bukan nomor antrian yang pertama kali ditanyakannya, “Pemuda itu mana ya…?” katanya celingukan.
“153!!!” Arah suara itu berhasil menghentak seisi telinga Rumi. Terlambat. Ia merunduk penuh sesal.
“Hahahahahha…,” entah dari mana pemuda tadi tiba-tiba muncul dan tertawa terbahak di depannya. Ia tertawa sambil menunjuk ke arah Rumi karena terlambat.
“Ha… Hahh… Hahahaha…,” Rumi membalas dengan tertawa terpingkal.
Pemuda itu terdiam, ia segera menutup rapat-rapat bibirnya. Ia tahu betul perempuan itu sedang menertawai apa. Rumi masih sedang tertawa, begitu pemuda itu bergegas berlari keluar ruangan hingga hilang dari pandangan.
Tertangkap basah!
Sejenak, Rumi memerhatikan ruang tunggu yang tak pernah mengenal sepi itu. Tak disangka, rasa bosan sebab menunggu kadang membuat beberapa orang dingin jadi begitu lucu. Pemuda itu sampai tak sadar dengan gigi depannya yang ompong. Rumi berbalik, rasanya… ruangan tunggu itu masih merindukan dirinya datang kembali.
END


0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB