Nulis Random 2015: Pohon Kacang dan perempuannya

Minggu, 07 Juni 2015 0 komentar
Tanpa seorangpun tahu, ku kira perempuan itu sudah terbunuh.

"Hahahahahahah," tawanya terbahak. Menggelegar di antara buih-buih air yang jatuh dari langit. Hari itu hujan, sejak dua bulan matahari hanya berani bersembunyi di balik awan. Bukan hal yang lucu untuk ditertawakan, orang-orang hanya akan berfikir ia gila ketika di depannya hanya ada bibit kacang yang masih berumur belia.
Ia yang menanamnya sejak bulan lalu. Bibit itu mulai tumbuh. Kelak pohon itu akan jadi pohon kesayangannya.

Baginya lucu sekali, bibit kerdil yang berjuang tumbuh itu, menatapnya sinis.
***
“Apa pentingnya kacang ini?”
“Penting!”
“Meh, kenapa bukan bunga?”
“Kenapa?”
“Indah, cantik, dan menarik, bukan?”
“Kamu hanya tidak tahu. Kacang ini lebih dari itu. Berhenti mengatainya.”
“Tidak! Dia tetap payah di mataku.”
***
Siapapun yang melihatnya akan mencaci maki tanpa sebab. Mungkin terlihat aneh, ada pohon kacang yang dijadikan tanaman kesayangan. Meski begitu, perempuan itu tak tergoda untuk mengganti pohon kacang miliknya dengan tanaman yang lebih indah atau sesuatu yang bersuara. Beberapa teman yang mengunjunginya memang menyarankan hewan peliharaan atau bunga yang menggoda mata untuk dijadikan penangkal kesepian. Tapi tidak. Pohon kacang itu masih lebih setia.
Menjadi seorang penulis ditekuninya dua tahun sejak awal kuliah. Sejak namanya ada di deretan keluarga mahasiswa farmasi, waktunya mulai tersita banyak untuk laporan dan tugas-tugas perkuliahan. Hingga bergumul dengan aksara hanya bisa dilakukannya ketika waktu luang tiba. Waktu yang sangat berharga bagi teman-temannya untuk memejamkan mata dan menjamu alam mimpi.
Keadaanlah yang mengharuskannya menemukan teman baru, menemaninya ketika waktu luang itu sudah tiba, atau sekedar mendengar curhatannya akan ulah ke tiga teman-teman serumahnya.
Mereka tidak pernah menunjukkan suka dengan perempuan itu. Entah sebab ia terlihat cukup aneh dari yang lain atau terlalu sering menjauh. Konsentrasi, mungkin hanya itulah alasan yang cukup logis baginya untuk membenci keramaian. Tak apa jika seorang penulis kesepian, huruf-huruf mati dan vocal itu sudah cukup meramaikan fikiran,  batinnya. Ucapan itu tak pernah dihiraukan, ia tak pernah dihiraukan.
Kemarin, air mata perempuan itu ikut menggenapkan hujan. Seorang teman menaruh pohon kacangnya diluar dan meggantinya dengan bunga kembang kertas berwarna merah muda ketika ia tengah tertidur.
“Kami tidak suka, pohon kacang mu itu mulai mengundang semut kerumah ini!”
Perempuan itu hanya menunduk, sedang pohon kacangnya yang sudah berukuran sejengkal di pegangnya erat-erat. Perempuan itu tak berkata apa-apa, hingga ia berbalik dan pergi, ia membenci suara dan amarah. Baginya dunia ini memang terlalu menghakimi sesamanya dan ia bukanlah seorang kanibal akan berbalik memarahi, ia bukan tipe pemberontak.
Pohon itu diletakkan kembali ketempat semula. Belum saja perempuan itu pergi, ia berbalik, mengamati pohon kacang itu baik-baik lalu tertawa sendiri.
“Kamu gila, ya?” tegur seorang temannya.
“Hahahha….,” ia tertawa lagi sepanjang perjalanan hingga ke kampus. Lambungnya serasa tergelitik, begitu pohon kacangnya yang kerdil tadi seakan melihatnya sinis. Andai bisa berbicara, ia mungkin akan ikut mengatai,
“Hey! Bukankah kau yang pernah bilang pada seorang temanmu, bila tak menyukai tempat kau berada, move on! Kau bukan pohon, bukan?”
Ah, sulit, kurasa aku tak bisa meninggalkan mereka begitu saja, ratapnya.
***
Kukira, perempuan yang berkata begitu dan benar-benar bisa berpindah sudah terbunuh. Sedang perempuan yang suka menulis itu hanya bisa merangkai aksara saja. Ternyata, perempuan itu tidak lebih dari sekedar pohon kacangnya yang kerdil.

END

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB