Tanpa seorangpun tahu, ku kira perempuan itu sudah terbunuh.
"Hahahahahahah," tawanya terbahak.
Menggelegar di antara buih-buih air yang jatuh dari langit. Hari itu hujan, sejak
dua bulan matahari hanya berani bersembunyi di balik awan. Bukan hal yang
lucu untuk ditertawakan, orang-orang hanya akan berfikir ia gila ketika di
depannya hanya ada bibit kacang yang masih berumur belia.
Ia yang menanamnya sejak bulan lalu. Bibit itu mulai tumbuh. Kelak
pohon itu akan jadi pohon kesayangannya.
Baginya lucu sekali, bibit kerdil yang berjuang tumbuh itu,
menatapnya sinis.
***
“Apa pentingnya kacang ini?”
“Penting!”
“Meh, kenapa bukan bunga?”
“Kenapa?”
“Indah, cantik, dan menarik, bukan?”
“Kamu hanya tidak tahu. Kacang ini lebih dari
itu. Berhenti mengatainya.”
“Tidak! Dia tetap payah di mataku.”
***
Siapapun yang melihatnya akan mencaci maki tanpa sebab. Mungkin
terlihat aneh, ada pohon kacang yang dijadikan tanaman kesayangan. Meski begitu,
perempuan itu tak tergoda untuk mengganti pohon kacang miliknya dengan tanaman
yang lebih indah atau sesuatu yang bersuara. Beberapa teman yang mengunjunginya
memang menyarankan hewan peliharaan atau bunga yang menggoda mata untuk dijadikan
penangkal kesepian. Tapi tidak. Pohon kacang itu masih lebih setia.
Menjadi seorang penulis ditekuninya dua tahun sejak awal kuliah. Sejak
namanya ada di deretan keluarga mahasiswa farmasi, waktunya mulai tersita
banyak untuk laporan dan tugas-tugas perkuliahan. Hingga bergumul dengan aksara
hanya bisa dilakukannya ketika waktu luang tiba. Waktu yang sangat berharga
bagi teman-temannya untuk memejamkan mata dan menjamu alam mimpi.
Keadaanlah yang mengharuskannya menemukan teman baru, menemaninya
ketika waktu luang itu sudah tiba, atau sekedar mendengar curhatannya akan ulah
ke tiga teman-teman serumahnya.
Mereka tidak pernah menunjukkan suka dengan perempuan itu. Entah sebab
ia terlihat cukup aneh dari yang lain atau terlalu sering menjauh. Konsentrasi,
mungkin hanya itulah alasan yang cukup logis baginya untuk membenci keramaian. Tak apa jika seorang penulis kesepian, huruf-huruf
mati dan vocal itu sudah cukup meramaikan fikiran, batinnya. Ucapan itu tak pernah dihiraukan,
ia tak pernah dihiraukan.
Kemarin, air mata perempuan itu ikut menggenapkan hujan. Seorang
teman menaruh pohon kacangnya diluar dan meggantinya dengan bunga kembang
kertas berwarna merah muda ketika ia tengah tertidur.
“Kami tidak suka, pohon kacang mu itu mulai mengundang
semut kerumah ini!”
Perempuan itu hanya menunduk, sedang pohon kacangnya yang sudah berukuran
sejengkal di pegangnya erat-erat. Perempuan itu tak berkata apa-apa, hingga ia
berbalik dan pergi, ia membenci suara dan amarah. Baginya dunia ini memang
terlalu menghakimi sesamanya dan ia bukanlah seorang kanibal akan berbalik
memarahi, ia bukan tipe pemberontak.
Pohon itu diletakkan kembali ketempat semula. Belum saja perempuan
itu pergi, ia berbalik, mengamati pohon kacang itu baik-baik lalu tertawa
sendiri.
“Kamu gila, ya?” tegur seorang temannya.
“Hahahha….,” ia tertawa lagi sepanjang
perjalanan hingga ke kampus. Lambungnya serasa tergelitik, begitu pohon
kacangnya yang kerdil tadi seakan melihatnya sinis. Andai bisa berbicara, ia
mungkin akan ikut mengatai,
“Hey! Bukankah kau yang pernah bilang pada
seorang temanmu, bila tak menyukai tempat kau berada, move on! Kau bukan pohon,
bukan?”
Ah, sulit, kurasa aku
tak bisa meninggalkan mereka begitu saja, ratapnya.
***
Kukira, perempuan yang berkata begitu dan benar-benar bisa
berpindah sudah terbunuh. Sedang perempuan yang suka menulis itu hanya bisa merangkai
aksara saja. Ternyata, perempuan itu tidak lebih dari sekedar pohon kacangnya yang kerdil.
END
0 komentar:
Posting Komentar