sebuah cerpen fiksi

Sabtu, 23 Mei 2015 0 komentar
Daun Maple untuk Jingga
By Aina Mardiyah

“Kamu sudah tahu?”


“Tahu apa?”
“Jingga Na…”
“Ada apa dengannya?”
“Diiiaaa… baru saja di jemput Tuhan.”
Tanganku kaku. “Trus, baguskan dia udah tenang di sana,” aku menoleh kearah Lesti yang berdiri disampingku. Wajahnya kesal, dan aku memang sangat mengesalkan saat itu. Ia berlari pergi tanpa berkata apa-apa. Aku menulis lagi, melanjutkan UAS yang belum usai saat itu. Tapi tak tahu mau tulis apa. Aku menarik nafas panjang, tanganku benar-benar tak bisa di gerakkan. Sehela nafas yang panjang lagi sebelum kemudian air mataku menetes tanpa henti. Aku tak bisa membendungnya meski bibirku sudah ku gigit kuat-kuat. Penglihatanku tertutup air mata, soal pun tak bisa ku baca jelas, dan fikiranku melayang tak karuan. Lesti… kamu  tidak tahu ada sesak yang kamu tinggalkan ketika pergi. Aku… hanya… orang bodoh yang membiarkan egonya bicara.
“Pak… soalku basah,”aku mengacungkan tangan dan berkata sembari menahan isak.
Soal itu masih sempat ku tukar, hingga akhirnya aku merasakan duniaku pun ikut di tukar. Semuanya jadi gelap. Separuh hidupku pergi.
***
“Mau kemana?”
“Jepang, kamu mau ikut?” Jingga menoleh sebentar. Lalu fokus lagi dengan mading di depannya. Matanya tak bergerak sedikit pun dari wacana yang melekat rapih di sana. Go to Abroad! Aku mengernyitkan dahi.
“Kenapa harus Jepang?”
Dia terdiam, beberapa saat lalu tersenyum kembali, “karena cuman Jepang yang ada daun maple-nya Ina….” Aku mengangguk. Lalu ia pergi begitu saja. Ku fikir ia lupa untuk menanyakan lagi jawabanku akan ikut dengannya atau tidak, tapi aku salah…
“Na… denger-denger si Fajar lagi deket yah sama Lesti. Udah pacarankah dia?” Fibra menyambangiku tanpa permisi dan dia hampir saja ku tonjok kalau aku tidak benar-benar melihat Fajar yang duduk berdua di kantin dengan Lesti.
Rokku ku genggam erat, air mataku ingin tumpah saat itu juga. Diam-diam Lesti, sahabatku, menusukku dari belakang. Apa iyya Lesti yang kamu harapkan bersamamu ngambil maple itu? Aku memang tidak sejago dia dalam belajar, tidak semahir ia saat menjelaskan, bahkan aku tidak se cantik ia. Tapi kamu tidak tahu bukan, diam-diam aku ingin ikut kamu ngambil maple itu. Kamu memang tidak tahu, karena aku terlalu apik menyimpan perasaan. Aku malu jika kamu tahu, si cupu ini tersenyum kuda saat kau menyapa. Bahwa jantungku hampir berhenti saat kau tersenyum. Dan aku serasa melayang ketika kau tanyai tadi. Jika tidak denganmu, akan kuambil saja maple itu untuk mu diam-diam. Bukankah aku ahli sebagai pendiam? Kamu puas? Aku menyeka air di sudut mataku.
“Bu Ijah, baksonya satu, yang paling pedas dan yang paling panas,” pesanku terburu-buru pada bu Ijah, si empunya kantin di sekolah. Sengaja, sengaja ku ambil tempat duduk di samping meja mereka biar bakso yang rasa pedasnya mampu melelehkan isi otak itu membuatku menangis tanpa harus di sangka cemburu. Mencintaimu, kufikir tak harus berbagi meja, cukup menghabiskan perasaan ku sendiri dan melihatmu dari jarak yang ku sebut rahasia.
“Ina… Lahap sekali. Kukira kamu tak suka pedas, yah,” Lesti menegurku, tak kusangka dia sudah ada di dekatku. Aku celingukan. Jingga sudah tak ada.
“Maaf Les, bukan urusanmu,” jawabku ketus.
“Bu, ini buat baksonya,” kataku penuh isak sembari menyodorkan lima ribu rupiah untuk bakso seharga lima ribu yang sudah kupesan. “Kembaliannya ambil saja, untuk tisu ibu yang sudah kuhabiskan,” aku bergegas beranjak, meninggalkan bu Ijah dan Lesti yang sementara berfikir akan maksudku.
***
“Jingga… jaga baik-baik yah daun maple ini. Maaf bila sudah kering. Kemarin aku tak sempat bawa. Oh ya, kering-kering begini langsung lo kuambil dari Jepang. Aku kuliah di sana. Terimakasih sudah jadi motivasiku,” sebuah daun maple kering ku tancap di sisi Jingga pelan-pelan. Biar ia tak terbangun, aku malu jika ia tahu aku sudah 5 tahun jadi penggemar rahasianya. Hatiku bergetar hebat, ingin rasanya lari, teriak sekencang-kencangnya dan menangis sekeras-kerasnya.
“Ehm…, siapa yah?” Sebuah suara mengagetkanku dari belakang.
“Saya Aina tante, temannya Jingga.” Segera aku menjabat erat tangannya. Ibunya Jingga.
“Aina… tunggu nak, sepertinya ada satu surat dengan nama kamu. Tunggu yah,” ia merogoh tasnya di tempat itu. Beberapa kertas terlihat berserakan di dalam, ia masih memilah satu persatu meski mentari sedang terik-teriknya. “Semalam tante menemukan ini… tumpukan surat-surat Jingga. Mungkin belum sempat ia berikan. Beberapa ada nama pemiliknya, termasuk namamu, nak. Ini, bacalah…,” katanya haru sembari menyodorkan secarik kertas.
Aina…
“Selamat yah… kamu hebat!”
Dua tahun mengenalmu semasa SMA, serasa kamu hanya singgah di pelupuk mata. Tapi kemarin, aku bahkan rela menghabiskan waktuku menatapmu di bawah podium itu. Cantik sekali saat kau memegang piala yang bahkan akupun bercita-cita untuk memegangnya.
Aku akui menatapmu adalah kebiasaan lamaku sebelum itu. Tapi aku tidak ingin kamu tahu. Kukira menjaga perasaan orang lain lebih penting bagiku, Lesti. Aku tahu dia sahabatmu, tapi aku lebih dulu tahu perasaannya sebelum inginkan kamu. Jika kamu ku beri tahu, persahabatanmu akan bagaimana nantinya? Dan aku tidak ingin kamu menangis, karena akulah penyebabnya. Tapi percayalah, dengan Lesti pun aku tak punya hubungan apa-apa.
Aku bangga bisa mengikuti perkembanganmu dalam diam. Meski ingin sekali aku tahu, apa dan siapa gerangan yang membuat kamu berubah. Hebat sekali orang itu. Andai saja itu aku. Ahh… kurasa bukan. Kamu tak pernah menyatakan apa-apa padaku, dan kamu tak pernah memberiku sedikit celah untuk berharap.
Aku lebih ingin kamu dari sebuah maple.
-Aku-secret admirer mu
“Jadi? Jingga…?” Bibirku bergetar. Ada bulir air yang menitik di mataku tanpa aba-aba. Aku kehilangan kamu tanpa pernah bicara. Ah, bodohnya aku ini. Menyimpan perasaan yang aku sendiri tak tahu dan tak ingin tahu balasannya. Menyimpan pertanyaan yang sebenarnya sangat ingin kutahu apa jawabannya. Terlambat. Kini tinggal hidup dalam sesal, yang kubawa dan membawaku pulang. Berdoa pada Tuhan agar waktu denganmu bisa terulang lagi. Agar aku tak perlu merasa serugi ini. Tak perlu terlalu menangisi pergimu. Tak perlu menyimpan apa-apa hingga mati untuk mu. Harusnya kamu bilang Jingga…
Kini aku menyadari hari ini, apa yang tak pernah ditanyakan, jawabannya adalah tidak. Dan kamu, adalah yang mengajariku banyak hal.

The End

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB