Daun Maple untuk Jingga
By Aina Mardiyah
“Kamu sudah tahu?”
“Tahu apa?”
“Jingga Na…”
“Ada apa dengannya?”
“Diiiaaa… baru saja di jemput
Tuhan.”
Tanganku kaku. “Trus, baguskan dia
udah tenang di sana,” aku menoleh kearah Lesti yang berdiri disampingku.
Wajahnya kesal, dan aku memang sangat mengesalkan saat itu. Ia berlari pergi
tanpa berkata apa-apa. Aku menulis lagi, melanjutkan UAS yang belum usai saat itu.
Tapi tak tahu mau tulis apa. Aku menarik nafas panjang, tanganku benar-benar
tak bisa di gerakkan. Sehela nafas yang panjang lagi sebelum kemudian air
mataku menetes tanpa henti. Aku tak bisa membendungnya meski bibirku sudah ku
gigit kuat-kuat. Penglihatanku tertutup air mata, soal pun tak bisa ku baca jelas,
dan fikiranku melayang tak karuan. Lesti… kamu tidak tahu ada sesak yang kamu tinggalkan
ketika pergi. Aku… hanya… orang bodoh yang membiarkan egonya bicara.
“Pak… soalku basah,”aku
mengacungkan tangan dan berkata sembari menahan isak.
Soal itu masih sempat ku tukar,
hingga akhirnya aku merasakan duniaku pun ikut di tukar. Semuanya jadi gelap.
Separuh hidupku pergi.
***
“Mau kemana?”
“Jepang, kamu mau ikut?” Jingga
menoleh sebentar. Lalu fokus lagi dengan mading di depannya. Matanya tak
bergerak sedikit pun dari wacana yang melekat rapih di sana. Go to Abroad! Aku
mengernyitkan dahi.
“Kenapa harus Jepang?”
Dia terdiam, beberapa saat lalu
tersenyum kembali, “karena cuman Jepang yang ada daun maple-nya Ina….” Aku
mengangguk. Lalu ia pergi begitu saja. Ku fikir ia lupa untuk menanyakan lagi jawabanku
akan ikut dengannya atau tidak, tapi aku salah…
“Na… denger-denger si Fajar lagi
deket yah sama Lesti. Udah pacarankah dia?” Fibra menyambangiku tanpa permisi
dan dia hampir saja ku tonjok kalau aku tidak benar-benar melihat Fajar yang
duduk berdua di kantin dengan Lesti.
Rokku ku genggam erat, air mataku
ingin tumpah saat itu juga. Diam-diam Lesti, sahabatku, menusukku dari
belakang. Apa iyya Lesti yang kamu harapkan bersamamu ngambil maple itu? Aku memang
tidak sejago dia dalam belajar, tidak semahir ia saat menjelaskan, bahkan aku
tidak se cantik ia. Tapi kamu tidak tahu bukan, diam-diam aku ingin ikut kamu
ngambil maple itu. Kamu memang tidak tahu, karena aku terlalu apik menyimpan
perasaan. Aku malu jika kamu tahu, si cupu ini tersenyum kuda saat kau menyapa.
Bahwa jantungku hampir berhenti saat kau tersenyum. Dan aku serasa melayang
ketika kau tanyai tadi. Jika tidak denganmu, akan kuambil saja maple itu untuk
mu diam-diam. Bukankah aku ahli sebagai pendiam? Kamu puas? Aku menyeka air di
sudut mataku.
“Bu Ijah, baksonya satu, yang paling
pedas dan yang paling panas,” pesanku terburu-buru pada bu Ijah, si empunya
kantin di sekolah. Sengaja, sengaja ku ambil tempat duduk di samping meja mereka
biar bakso yang rasa pedasnya mampu melelehkan isi otak itu membuatku menangis
tanpa harus di sangka cemburu. Mencintaimu, kufikir tak harus berbagi meja,
cukup menghabiskan perasaan ku sendiri dan melihatmu dari jarak yang ku sebut
rahasia.
“Ina… Lahap sekali. Kukira kamu
tak suka pedas, yah,” Lesti menegurku, tak kusangka dia sudah ada di dekatku.
Aku celingukan. Jingga sudah tak ada.
“Maaf Les, bukan urusanmu,” jawabku
ketus.
“Bu, ini buat
baksonya,” kataku penuh isak sembari menyodorkan lima ribu rupiah untuk bakso
seharga lima ribu yang sudah kupesan. “Kembaliannya ambil saja, untuk tisu ibu
yang sudah kuhabiskan,” aku bergegas beranjak, meninggalkan bu Ijah dan Lesti
yang sementara berfikir akan maksudku.
***
“Jingga… jaga baik-baik yah daun
maple ini. Maaf bila sudah kering. Kemarin aku tak sempat bawa. Oh ya, kering-kering
begini langsung lo kuambil dari Jepang. Aku kuliah di sana. Terimakasih sudah
jadi motivasiku,” sebuah daun maple kering ku tancap di sisi Jingga
pelan-pelan. Biar ia tak terbangun, aku malu jika ia tahu aku sudah 5 tahun
jadi penggemar rahasianya. Hatiku bergetar hebat, ingin rasanya lari, teriak
sekencang-kencangnya dan menangis sekeras-kerasnya.
“Ehm…, siapa yah?” Sebuah suara
mengagetkanku dari belakang.
“Saya Aina tante, temannya
Jingga.” Segera aku menjabat erat tangannya. Ibunya Jingga.
“Aina… tunggu nak, sepertinya ada
satu surat dengan nama kamu. Tunggu yah,” ia merogoh tasnya di tempat itu.
Beberapa kertas terlihat berserakan di dalam, ia masih memilah satu persatu
meski mentari sedang terik-teriknya. “Semalam tante menemukan ini… tumpukan
surat-surat Jingga. Mungkin belum sempat ia berikan. Beberapa ada nama pemiliknya,
termasuk namamu, nak. Ini, bacalah…,” katanya haru sembari menyodorkan secarik
kertas.
Aina…
“Selamat yah… kamu hebat!”
Dua tahun mengenalmu semasa SMA,
serasa kamu hanya singgah di pelupuk mata. Tapi kemarin, aku bahkan rela
menghabiskan waktuku menatapmu di bawah podium itu. Cantik sekali saat kau
memegang piala yang bahkan akupun bercita-cita untuk memegangnya.
Aku akui menatapmu adalah
kebiasaan lamaku sebelum itu. Tapi aku tidak ingin kamu tahu. Kukira menjaga
perasaan orang lain lebih penting bagiku, Lesti. Aku tahu dia sahabatmu, tapi
aku lebih dulu tahu perasaannya sebelum inginkan kamu. Jika kamu ku beri tahu,
persahabatanmu akan bagaimana nantinya? Dan aku tidak ingin kamu menangis,
karena akulah penyebabnya. Tapi percayalah, dengan Lesti pun aku tak punya
hubungan apa-apa.
Aku bangga bisa mengikuti
perkembanganmu dalam diam. Meski ingin sekali aku tahu, apa dan siapa gerangan
yang membuat kamu berubah. Hebat sekali orang itu. Andai saja itu aku. Ahh…
kurasa bukan. Kamu tak pernah menyatakan apa-apa padaku, dan kamu tak pernah
memberiku sedikit celah untuk berharap.
Aku lebih ingin kamu dari sebuah
maple.
-Aku-secret admirer mu
“Jadi? Jingga…?” Bibirku
bergetar. Ada bulir air yang menitik di mataku tanpa aba-aba. Aku kehilangan
kamu tanpa pernah bicara. Ah, bodohnya aku ini. Menyimpan perasaan yang aku
sendiri tak tahu dan tak ingin tahu balasannya. Menyimpan pertanyaan yang
sebenarnya sangat ingin kutahu apa jawabannya. Terlambat. Kini tinggal hidup
dalam sesal, yang kubawa dan membawaku pulang. Berdoa pada Tuhan agar waktu
denganmu bisa terulang lagi. Agar aku tak perlu merasa serugi ini. Tak perlu
terlalu menangisi pergimu. Tak perlu menyimpan apa-apa hingga mati untuk mu.
Harusnya kamu bilang Jingga…
Kini aku menyadari hari ini, apa
yang tak pernah ditanyakan, jawabannya adalah tidak. Dan kamu, adalah yang
mengajariku banyak hal.
The End
0 komentar:
Posting Komentar