CERPEN FIKSI "KONSER"

Minggu, 24 Mei 2015 0 komentar
KONSER



“Jam berapa meetingnya, mas?” Aku bertanya sembari merapikan dasi Irwan, suamiku yang kini memasuki kenaikan pangkat, katanya. Tapi aku percaya, agency perusahaan yang ditekuninya kali ini tidak akan mengecewakan seperti yang berkesudahan.
Ia menarik pergelangan yang sudah di baluti lengan jas, jam tangan yang baru kemarin ku hadiahkan itu menunjukkan angka 8 pagi, “Sudah waktunya, sayang,” ia bergegas, tak lupa sebuah kecupan manis di keningku dan aku melemparinya sebuah senyuman.
“Pergilah…”
***
Belum saja aku berbalik, dering telefon rumah berbunyi. Tumben sekali, mungkin tagihan yang kemarin-kemarin ada yang belum ke bayar. Aku menarawang, sebelum kemudian yakin mengangkat telefon itu,
“Halo…”
“Ainaaa…. Ainaa yah?”
“Iya, dengan siapa yah?” Keningku mengerut, sesaat aku kembali menerawang suara yang tak cukup asing namun sangat sulit ke tebak.
“Ini… Na… Aku… Devi. Aduuh, Na… Senang sekali loh rasanya, bisa dengerin suara kamu. Ayuuu atuh Na, ngumpul bareng lagi…”
“Hey… kangen sekali Vi, sama kamu. Ayuh, kumpul dimana?”
“Okay, di Kafe Cinta, jam 3, sekalian aku punya tiket untuk sebuah konser ntar malam. Gimana?”
“Iyah, iyah… Kebetulan suamiku juga ada lembur nanti malam.”
“See y…”
“See…”
Telefon ditutup. Sebuah kejutan yang lama ditunggu dari sahabat lama. Sejak aku dan Devi pisah, aku tak punya sahabat untuk melakukan banyak hal dan kesenangan berdua. Kecuali Irwan, yang bahkan ku temui tanpa sengaja di sebuah konser. Aku dan Devi adalah duo penonton yang tak akan rela melewatkan satu konser pun, entah konser apalah itu. Tapi, akulah yang telah mengharamkan konser untuk suamiku. Bahkan jika harus ia keluar dari bandnya sekalipun. Untunglah, Ia ada lembur malam ini. Aku dan Devi bisa bernostalgia dengan ria. Ku rasa. Senyum ku mengembang.
***
“Maaf, aku telat yah…”
“Ah, baru juga 30 menit Na…,” goda Devi.
Aku hanya bisa nyengir tanpa suara. Membiarkan Devi memelukku hangat. Lalu aku membalasnya dengan peluk erat.
Aku dipersilahkannya duduk, kafe saat itu cukup sepi. Kami bebas tertawa tanpa takut mengganggu sesiapa.
“Aku sengaja loo, milih kafe ini. Gimana?”
“Bagus,” aku mengangguk.
“Oh ya, ini tiketnya… tereeeng…”
Dua tiket itu, rasanya susah menghilangkan kelam padanya, meski bertahun-tahun sudah itu berlalu. Aku harus yakin, ini tidak akan apa, hanya sekedar nostalgia saja.
“Na… Na…, kok diem”
Devi mengagetkanku, ku fikir dia tidak tahu apa yang telah terjadi padaku dengan sebuah konser. Saat itu memang aku hanya pergi sendirian. Ugh, mataku jadi ingin berair.
“Gak kok, baik aja. Gimana? Kamu masih sering nonton konser yah?”
“Gak Na. Maaf yah Na.. gak pernah ngajak kamu nonton konser lagi, ini aja nomer telfon kamu dapetnya susaaah banget. Kamu gak aktif yah di sosmed, lagi focus urusan rumah tangga yah?”
“Ah, gak juga. Males aja sih. Lagi juga masih ngidam kan? Kamu?”
“Anak yah, ah, ini mah kita kompakan. Aku juga udah dua bulan Na… hehe Oh ya Na, suami mu sendiri? Denger-denger dia pengusaha yah?”
“Heheh… Pemula Dev…”
“Suamiku juga, Na… eh, kali-kali mereka bisa ketemu bisnis, tukeran kartu nama mereka yuk,” Aku menyodorkan Devi kartu nama mas Irwan. Agencynya cukup berbeda jauh, mas Irwan dari agency furniture, sedang Fuji, suaminya Devi dari agency Wedding Organizing. Tapi… bisa saja kerjasama itu ada.
“Dev, kadang kita harus memilih sesuatu yang jauh dari kebiasaan kita dulu.”
“Iya Na, mama gak akan nyetujuin aku dan mas Fuji kalau saja ia adalah musisi dan aku adalah perempuan yang masih menyukai konser.”
“Oh ya? Lagian konser juga untuk yang muda-muda kan? Heheh bukan jamannya kita lagi. Tapi itu masa yang paling kelam Dev, jika bukan karena kamu yang ajak, aku gak akan pernah nginjak konser lagi,” ku hembuskan nafasku panjang, berharap aku dapat kekuatan untuk bercerita banyak ke Devi soal konser terakhir itu. “Dev, itu konser terakhir tanpa kamu. Aku tidak tahu sedang ada apa, ketika aku adalah penonton dibarisan depan. 
Semuanya berlarian kearahku, pembunuh itu Dev, dia ada di sampingku. Bukan aku, tapi si Personil band Rock itu yang di incarnya untuk di bunuh. Aku ketakutan Dev, aku tak bisa kemana-kemana, aku sudah bertahan untuk tak jatuh. Tapi tekanan yang kualami membuatku tersungkur ke tanah, kepalaku di injak sampai aku butuh banyak jahitan di bagian kanan,” aku tak bisa melanjutkan, sesaknya sudah mulai tak bisa ku tahan, bahkan ingin bernafaspun susah. “Dev…,” aku merebahkan tubuhku ke pelukan Devi. Banyak keluhku yang kutahan agar tak keluar hanya agar aku tak terlihat cukup kasihan di mata Devi. Meski begitu, mataku sudah terlanjur basah. Airnya sudah menetes kemana-kemana. Aku hanya menunggunya menguap ke nirwana.
“Sudah… sudah… sebuah konser hanya sekali seperti itu, kali ini aku jamin aman kok. Okay, tenang yah…”
“Yah, kuharap begitu, Dev…”
***
“Kurasa konser kali ini akan lebih asyik dan aman dari yang dulu-dulu.”
“Iyya Dev, baru kali ini konsernya di studio,” kataku sembari mengikuti hentak musik. Alunan musik menggema memenuhi ruangan dan seisi telinga. Kita tak bisa hanya tinggal diam, seperti magnet yang badan pun serasa tertarik mengikutinya. Hentakkan musik kedua di mulai, penampilan selanjutnya yang lightingnya cukup kelam dan gelap, personilnya susah dijangkau mata. Tapi sebuah suara yang tak asing terjamah telinga.
“Suaranya keren, Na…”
“Musiknya juga, Dev.”
Kami masih memekik kesenangan, ketika panggung telah terang benderang. Adalah wajah yang aku tak sangka ada di sana. Aku pergi, Devi entah kemana dia.
“Stop!”
Nafasku berlomba menarik oksigen. Serasa ingin pecah kepalaku melihat kenyataan peik di depan mata. Devi juga ada di sana, di atas panggung tempat mas Irwan melantunkan lagunya dan Fuji menghentakkan musiknya.
“Makasih! Makasih udah jadi suami terhebat. Yang pandai bersilat lidah, mas…,” suaraku menggema di tengah keheningan. Gemanya bergetar. Konser yang tak lagi menginjak aku saja, tapi juga menghancurkan rumah tanggaku sekalian.
“Inaaa…,” mas Irwan memelas.
“Dan kamu! Terima kasih sudah memberi sedikit kesenangan. Paling tidak, aku pernah mengaku punya suami pengusaha di depan teman-temanku. Puas kamu!!!” Gertak Devi geram, kami punya nasib yang serupa. Hidup yang dimulai sama, dan berakhir dengan kisah yang sama.
***
Dua tahun sudah konser itu berlalu, aku tidak lagi bersama Devi. Kami sudah sepakat sejak itu, memulai sesuatu yang baru dan lebih baik. Lalu mengakhirinya baik-baik juga. Seperti halnya memulai menjadi  seorang wanita karir yang bekecimpung di dunia bisnis dan seorang single parent yang telaten. Dengar-dengar Devi pun sudah beralih berbisnis butik, juga single parent yang cukup sigap.
The End


0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Mengepak fajar | TNB