KONSER
“Jam berapa meetingnya,
mas?” Aku bertanya sembari merapikan dasi Irwan, suamiku yang kini memasuki
kenaikan pangkat, katanya. Tapi aku percaya, agency perusahaan yang ditekuninya
kali ini tidak akan mengecewakan seperti yang berkesudahan.
Ia menarik
pergelangan yang sudah di baluti lengan jas, jam tangan yang baru kemarin ku
hadiahkan itu menunjukkan angka 8 pagi, “Sudah waktunya, sayang,” ia bergegas,
tak lupa sebuah kecupan manis di keningku dan aku melemparinya sebuah senyuman.
“Pergilah…”
***
Belum saja aku
berbalik, dering telefon rumah berbunyi. Tumben sekali, mungkin tagihan yang
kemarin-kemarin ada yang belum ke bayar. Aku menarawang, sebelum kemudian yakin
mengangkat telefon itu,
“Halo…”
“Ainaaa…. Ainaa
yah?”
“Iya, dengan
siapa yah?” Keningku mengerut, sesaat aku kembali menerawang suara yang tak
cukup asing namun sangat sulit ke tebak.
“Ini… Na… Aku…
Devi. Aduuh, Na… Senang sekali loh rasanya, bisa dengerin suara kamu. Ayuuu
atuh Na, ngumpul bareng lagi…”
“Hey… kangen
sekali Vi, sama kamu. Ayuh, kumpul dimana?”
“Okay, di Kafe
Cinta, jam 3, sekalian aku punya tiket untuk sebuah konser ntar malam. Gimana?”
“Iyah, iyah…
Kebetulan suamiku juga ada lembur nanti malam.”
“See y…”
“See…”
Telefon ditutup.
Sebuah kejutan yang lama ditunggu dari sahabat lama. Sejak aku dan Devi pisah,
aku tak punya sahabat untuk melakukan banyak hal dan kesenangan berdua. Kecuali
Irwan, yang bahkan ku temui tanpa sengaja di sebuah konser. Aku dan Devi adalah
duo penonton yang tak akan rela melewatkan satu konser pun, entah konser apalah
itu. Tapi, akulah yang telah mengharamkan konser untuk suamiku. Bahkan jika
harus ia keluar dari bandnya sekalipun. Untunglah, Ia ada lembur malam ini. Aku
dan Devi bisa bernostalgia dengan ria. Ku rasa. Senyum ku mengembang.
***
“Maaf, aku telat
yah…”
“Ah, baru juga
30 menit Na…,” goda Devi.
Aku hanya bisa nyengir
tanpa suara. Membiarkan Devi memelukku hangat. Lalu aku membalasnya dengan
peluk erat.
Aku
dipersilahkannya duduk, kafe saat itu cukup sepi. Kami bebas tertawa tanpa
takut mengganggu sesiapa.
“Aku sengaja loo,
milih kafe ini. Gimana?”
“Bagus,” aku
mengangguk.
“Oh ya, ini
tiketnya… tereeeng…”
Dua tiket itu,
rasanya susah menghilangkan kelam padanya, meski bertahun-tahun sudah itu
berlalu. Aku harus yakin, ini tidak akan apa, hanya sekedar nostalgia saja.
“Na… Na…, kok
diem”
Devi
mengagetkanku, ku fikir dia tidak tahu apa yang telah terjadi padaku dengan sebuah
konser. Saat itu memang aku hanya pergi sendirian. Ugh, mataku jadi ingin
berair.
“Gak kok, baik
aja. Gimana? Kamu masih sering nonton konser yah?”
“Gak Na. Maaf
yah Na.. gak pernah ngajak kamu nonton konser lagi, ini aja nomer telfon kamu
dapetnya susaaah banget. Kamu gak aktif yah di sosmed, lagi focus urusan rumah
tangga yah?”
“Ah, gak juga.
Males aja sih. Lagi juga masih ngidam kan? Kamu?”
“Anak yah, ah,
ini mah kita kompakan. Aku juga udah dua bulan Na… hehe Oh ya Na, suami mu
sendiri? Denger-denger dia pengusaha yah?”
“Heheh… Pemula
Dev…”
“Suamiku juga,
Na… eh, kali-kali mereka bisa ketemu bisnis, tukeran kartu nama mereka yuk,”
Aku menyodorkan Devi kartu nama mas Irwan. Agencynya cukup berbeda jauh, mas
Irwan dari agency furniture, sedang Fuji, suaminya Devi dari agency Wedding
Organizing. Tapi… bisa saja kerjasama itu ada.
“Dev, kadang
kita harus memilih sesuatu yang jauh dari kebiasaan kita dulu.”
“Iya Na, mama
gak akan nyetujuin aku dan mas Fuji kalau saja ia adalah musisi dan aku adalah
perempuan yang masih menyukai konser.”
“Oh ya? Lagian
konser juga untuk yang muda-muda kan? Heheh bukan jamannya kita lagi. Tapi itu
masa yang paling kelam Dev, jika bukan karena kamu yang ajak, aku gak akan
pernah nginjak konser lagi,” ku hembuskan nafasku panjang, berharap aku dapat
kekuatan untuk bercerita banyak ke Devi soal konser terakhir itu. “Dev, itu
konser terakhir tanpa kamu. Aku tidak tahu sedang ada apa, ketika aku adalah
penonton dibarisan depan.
Semuanya berlarian kearahku, pembunuh itu Dev, dia
ada di sampingku. Bukan aku, tapi si Personil band Rock itu yang di incarnya
untuk di bunuh. Aku ketakutan Dev, aku tak bisa kemana-kemana, aku sudah
bertahan untuk tak jatuh. Tapi tekanan yang kualami membuatku tersungkur ke
tanah, kepalaku di injak sampai aku butuh banyak jahitan di bagian kanan,” aku
tak bisa melanjutkan, sesaknya sudah mulai tak bisa ku tahan, bahkan ingin
bernafaspun susah. “Dev…,” aku merebahkan tubuhku ke pelukan Devi. Banyak
keluhku yang kutahan agar tak keluar hanya agar aku tak terlihat cukup kasihan
di mata Devi. Meski begitu, mataku sudah terlanjur basah. Airnya sudah menetes
kemana-kemana. Aku hanya menunggunya menguap ke nirwana.
“Sudah… sudah…
sebuah konser hanya sekali seperti itu, kali ini aku jamin aman kok. Okay,
tenang yah…”
“Yah, kuharap
begitu, Dev…”
***
“Kurasa konser
kali ini akan lebih asyik dan aman dari yang dulu-dulu.”
“Iyya Dev, baru
kali ini konsernya di studio,” kataku sembari mengikuti hentak musik. Alunan musik
menggema memenuhi ruangan dan seisi telinga. Kita tak bisa hanya tinggal diam,
seperti magnet yang badan pun serasa tertarik mengikutinya. Hentakkan musik
kedua di mulai, penampilan selanjutnya yang lightingnya
cukup kelam dan gelap, personilnya susah dijangkau mata. Tapi sebuah suara yang
tak asing terjamah telinga.
“Suaranya keren,
Na…”
“Musiknya juga,
Dev.”
Kami masih
memekik kesenangan, ketika panggung telah terang benderang. Adalah wajah yang
aku tak sangka ada di sana. Aku pergi, Devi entah kemana dia.
“Stop!”
Nafasku berlomba
menarik oksigen. Serasa ingin pecah kepalaku melihat kenyataan peik di depan
mata. Devi juga ada di sana, di atas panggung tempat mas Irwan melantunkan
lagunya dan Fuji menghentakkan musiknya.
“Makasih! Makasih
udah jadi suami terhebat. Yang pandai bersilat lidah, mas…,” suaraku menggema
di tengah keheningan. Gemanya bergetar. Konser yang tak lagi menginjak aku
saja, tapi juga menghancurkan rumah tanggaku sekalian.
“Inaaa…,” mas
Irwan memelas.
“Dan kamu!
Terima kasih sudah memberi sedikit kesenangan. Paling tidak, aku pernah mengaku
punya suami pengusaha di depan teman-temanku. Puas kamu!!!” Gertak Devi geram,
kami punya nasib yang serupa. Hidup yang dimulai sama, dan berakhir dengan
kisah yang sama.
Dua tahun sudah
konser itu berlalu, aku tidak lagi bersama Devi. Kami sudah sepakat sejak itu,
memulai sesuatu yang baru dan lebih baik. Lalu mengakhirinya baik-baik juga.
Seperti halnya memulai menjadi seorang
wanita karir yang bekecimpung di dunia bisnis dan seorang single parent yang telaten. Dengar-dengar Devi pun sudah beralih
berbisnis butik, juga single parent
yang cukup sigap.
The
End
0 komentar:
Posting Komentar